Laki-Laki
Menyerupai Wanita dan Wanita Menyerupai Laki-Laki
Ibnu
‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجاَلِ بِالنِّساَءِ، وَالْمُتَشَبِّهاَتِ مِنَ
النِّساَءِ بِالرِّجاَلِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai
laki-laki.” (HR. Al-Bukhari no. 5885, 6834)
Ath-Thabari
rahimahullah memaknai sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dengan
ucapan: “Tidak
boleh laki-laki menyerupai wanita dalam hal pakaian dan perhiasan yang khusus
bagi wanita. Dan tidak boleh pula sebaliknya (wanita menyerupai laki-laki).” Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menambahkan: “Demikian pula meniru cara bicara dan
berjalan. Adapun dalam penampilan/ bentuk pakaian maka ini berbeda-beda dengan
adanya perbedaan adat kebiasaan pada setiap negeri. Karena terkadang suatu kaum
tidak membedakan model pakaian laki-laki dengan model pakaian wanita (sama
saja), akan tetapi untuk wanita ditambah dengan hijab. Pencelaan terhadap
laki-laki atau wanita yang menyerupai lawan jenisnya dalam berbicara dan
berjalan ini, khusus bagi yang sengaja. Sementara bila hal itu merupakan asal
penciptaannya maka ia diperintahkan untuk memaksa dirinya agar meninggalkan hal
tersebut secara berangsur-angsur. Bila hal ini tidak ia lakukan bahkan ia terus
tasyabbuh dengan lawan jenis, maka ia masuk dalam celaan, terlebih lagi bila
tampak pada dirinya perkara yang menunjukkan ia ridla dengan keadaannya yang
demikian.” Al-Hafidz rahimahullah mengomentari pendapat Al-Imam An-Nawawi
rahimahullah yang menyatakan mukhannats yang memang tabiat/ asal penciptaannya
demikian, maka celaan tidak ditujukan terhadapnya, maka kata Al-Hafidz
rahimahullah, hal ini ditujukan kepada mukhannats yang tidak mampu lagi
meninggalkan sikap kewanita-wanitaannya dalam berjalan dan berbicara setelah ia
berusaha menyembuhkan kelainannya tersebut dan berupaya meninggalkannya. Namun
bila memungkinkan baginya untuk meninggalkan sifat tersebut walaupun secara
berangsur-angsur, tapi ia memang enggan untuk meninggalkannya tanpa ada udzur,
maka ia terkena celaan.” (Fathul Bari,
10/345)
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah memang menyatakan: “Ulama berkata, mukhannats itu ada dua macam.
Pertama: hal itu memang sifat asal/ pembawaannya bukan ia bersengaja
lagi memberat-beratkan dirinya untuk bertabiat dengan tabiat wanita, bersengaja
memakai pakaian wanita, berbicara seperti wanita serta melakukan gerak-gerik
wanita. Namun hal itu merupakan pembawaannya yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
memang menciptakannya seperti itu. Mukhannats yang seperti ini tidaklah dicela
dan dicerca bahkan tidak ada dosa serta hukuman baginya karena ia diberi udzur
disebabkan hal itu bukan kesengajaannya. Karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pada awalnya tidak mengingkari masuknya mukhannats menemui para
wanita dan tidak pula mengingkari sifatnya yang memang asal penciptaan/
pembawaannya demikian. Yang beliau ingkari setelah itu hanyalah karena
mukhannats ini ternyata mengetahui sifat-sifat wanita (gambaran lekuk-lekuk
tubuh wanita) dan beliau tidak mengingkari sifat pembawaannya serta
keberadaannya sebagai mukhannats.
Kedua: mukhannats yang sifat kewanita-wanitaannya bukan asal
penciptaannya bahkan ia menjadikan dirinya seperti wanita, mengikuti
gerak-gerik dan penampilan wanita seperti berbicara seperti mereka dan
berpakaian dengan pakaian mereka. Mukhannats seperti inilah yang tercela di
mana disebutkan laknat terhadap mereka di dalam hadits-hadits yang shahih.
Adapun
mukhannats jenis pertama tidaklah terlaknat karena seandainya ia terlaknat
niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkannya pada kali
yang pertama, wallahu a’lam.” (Syarah Shahih Muslim, 14/164)
Namun
seperti yang dikatakan Al-Hafidz rahimahullah, mukhannats jenis pertama
tidaklah masuk dalam celaan dan laknat, apabila ia telah berusaha meninggalkan
sifat kewanita-wanitaannya dan tidak menyengaja untuk terus membiarkan sifat
itu ada pada dirinya.
Dalam
Sunan Abu Dawud dibawakan hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia
berkata:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةُ تَلْبَسُ لِبْسَةَ
الرَّجُلِ
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita
dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.”
(HR. Abu Dawud no. 3575. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata: Hadits ini
hasan dengan syarat Muslim).
Asy-Syaikh
Muqbil rahimahullah dalam kitab Al-Jami’ush Shahih (3/92) menempatkan hadits
ini dalam kitab An-Nikah wath Thalaq, bab Tahrimu Tasyabbuhin Nisa’ bir Rijal (Haramnya Wanita Menyerupai Laki-Laki), dan beliau membawakannya kembali dalam kitab Al-Libas,
bab Tahrimu Tasyabbuhir Rijal bin Nisa’ wa Tasyabbuhin Nisa’ bir Rijal (Haramnya Laki-Laki Menyerupai Wanita dan Wanita Menyerupai
Laki-Laki) (4/314).
Dalam
masalah laki-laki menyerupai wanita ini, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
mengatakan: “Allah
Subhanahu wa Ta’ala menciptakan laki-laki dan perempuan di mana
masing-masingnya Dia berikan keistimewaan. Laki-laki berbeda dengan wanita
dalam penciptaan, watak, kekuatan, agama dan selainnya. Wanita demikian pula
berbeda dengan laki-laki. Siapa yang berusaha menjadikan laki-laki seperti
wanita atau wanita seperti laki-laki, berarti ia telah menentang Allah dalam
qudrah dan syariat-Nya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki hikmah dalam
apa yang diciptakan dan disyariatkan-Nya. Karena inilah terdapat nash-nash yang
berisi ancaman keras berupa laknat, yang berarti diusir dan dijauhkan dari
rahmat Allah, bagi laki-laki yang menyerupai (tasyabbuh) dengan wanita atau
wanita yang tasyabbuh dengan laki-laki. Maka siapa di antara laki-laki yang
tasyabbuh dengan wanita, berarti ia terlaknat melalui lisan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Demikian pula sebaliknya….”
(Syarah Riyadhish Shalihin, 4/288)
Dan
hikmah dilaknatnya laki-laki yang tasyabbuh dengan wanita dan sebaliknya,
wanita tasyabbuh dengan laki-laki, adalah karena mereka keluar/menyimpang dari
sifat yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan untuk mereka. (Fathul Bari,
10/345-346)
Asy-Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Apabila seorang laki-laki tasyabbuh dengan wanita dalam
berpakaian, terlebih lagi bila pakaian itu diharamkan seperti sutera dan emas,
atau ia tasyabbuh dengan wanita dalam berbicara sehingga ia berbicara bukan
dengan gaya/ cara seorang lelaki (bahkan) seakan-akan yang berbicara adalah
seorang wanita, atau ia tasyabbuh dengan wanita dalam cara berjalannya atau
perkara lainnya yang merupakan kekhususan wanita, maka laki-laki seperti ini
terlaknat melalui lisan makhluk termulia (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, pen.). Dan kita pun melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(Syarah Riyadhish Shalihin, 4/288)
Perbuatan menyerupai lawan jenis secara sengaja haram hukumnya dengan kesepakatan yang ada (Fathul Bari, 9/406) dan
termasuk dosa besar, karena Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu dan
selainnya mengatakan: “Dosa besar adalah semua perbuatan maksiat yang
ditetapkan hukum had-nya di dunia atau diberikan ancaman di akhirat.” Syaikhul
Islam menambahkan: “Atau disebutkan ancaman berupa ditiadakannya keimanan (bagi
pelakunya), laknat9, atau semisalnya.” (Mukhtashar Kitab Al-Kabair, Al-Imam
Adz-Dzahabi, hal. 7)
Al-Imam
Adz-Dzahabi rahimahullahu memasukkan perbuatan ini sebagai salah satu perbuatan
dosa besar dalam kitab beliau yang masyhur Al-Kabair, hal. 145.
Adapun
sanksi/hukuman yang diberikan kepada pelaku perbuatan ini adalah sebagaimana
disebutkan dalam hadits berikut:
لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمُخَنَّثِيْنِ مِنَ الرِّجاَلِ، وَالْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّساَءِ، وَقاَلَ:
أَخْرِجُوْهُمْ مِنْ بُيُوْتِكُمْ. قاَلَ: فَأَخْرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلاَناً وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلاَنَةً
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaknat laki-laki yang menyerupai wanita (mukhannats) dan wanita yang
menyerupai laki-laki (mutarajjilah10). Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Keluarkan mereka (usir) dari rumah-rumah kalian”. Ibnu Abbas
berkata: “Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengeluarkan Fulan
(seorang mukhannats) dan Umar mengeluarkan Fulanah (seorang mutarajjilah).” (HR. Al-Bukhari no. 5886)
Hadits
ini menunjukkan disyariatkannya mengusir setiap orang yang akan menimbulkan
gangguan terhadap manusia dari tempatnya sampai dia mau kembali dengan
meninggalkan perbuatan tersebut atau mau bertaubat. (Fathul Bari, 10/347)
Mereka
harus diusir dari rumah-rumah dan daerah kalian, kata Al-Qari. (‘Aunul Ma’bud,
13/189)
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullahu menyatakan: Ulama berkata: “Dikeluarkan dan diusirnya
mukhannats ada tiga makna:
Salah
satunya, sebagaimana tersebut dalam hadits yaitu mukhannats ini disangka
termasuk laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita tapi ternyata ia
punya syahwat namun menyembunyikannya.
Kedua: ia
menggambarkan wanita, keindahan-keindahan mereka dan aurat mereka di hadapan
laki-laki sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seorang
wanita menggambarkan keindahan wanita lain di hadapan suaminya, lalu bagaimana
bila hal itu dilakukan seorang lelaki di hadapan lelaki?
Ketiga: tampak bagi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mukhannats ini bahwa dia
mencermati (memperhatikan dengan seksama) tubuh dan aurat wanita dengan apa
yang tidak dicermati oleh kebanyakan wanita. Terlebih lagi disebutkan dalam
hadits selain riwayat Muslim bahwa si mukhannats ini mensifatkan/ menggambarkan
wanita dengan detail sampai-sampai ia menggambarkan kemaluan wanita dan sekitarnya,
wallahu a’lam.” (Syarah Shahih Muslim, 14/164)
Bila
penyerupaan tersebut belum sampai pada tingkatan perbuatan keji yang besar
seperti si mukhannats berbuat mesum (liwath/homoseks) dengan sesama lelaki
sehingga lelaki itu ‘mendatanginya’ pada duburnya atau si mutarajjilah berbuat
mesum (lesbi) dengan sesama wanita sehingga keduanya saling menggosokkan
kemaluannya, maka mereka hanya mendapatkan laknat dan diusir seperti yang
tersebut dalam hadits di atas. Namun bila sampai pada tingkatan demikian,
mereka tidak hanya pantas mendapatkan laknat tapi juga hukuman yang setimpal11.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengeluarkan
mukhannats dari rumah-rumah kaum muslimin agar perbuatan tasyabbuhnya (dengan
wanita) itu tidak mengantarkannya untuk melakukan perbuatan yang mungkar
tersebut (melakukan homoseks)12. Demikian dikatakan Ibnu At-Tin rahimahullahu
seperti dinukil Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu (Fathul Bari,
10/345).
Kesimpulan:
hukum
mukhannats memandang wanita ajnabiyyah (non mahram)
. (‘Aunul Ma’bud, 13/189)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar