Kisah
Hikmah, Jeruk Busuk Rasa Manis
Suatu hari, ketika saya sedang
menjenguk salah satu saudara yang tengah dirawat di rumah sakit, terdengar suara
makian keras dari pasien sebelah, “Bawa jeruk kok busuk, mau ngeracunin saya?
biar saya cepat mati?”
Suara marah itu berasal dari lelaki
tua yang kedatangan salah satu keluarganya dengan membawa jeruk. Boleh jadi
benar, bahwa beberapa jeruk dalam jinjingan itu busuk atau masam. Meski tidak
semua jeruk yang dibawanya itu busuk dan sangat kebetulan yang terambil pertama
oleh si pasien yang busuk. Dan tanpa bertanya lagi, marahlah ia kepada si
pembawa jeruk.
Sebenarnya, boleh dibilang wajar
jika seorang pasien marah lantaran kondisinya labil dan kesehatannya terganggu.
Ketika ia marah karena jeruk yang dibawa salah satu keluarganya itu busuk,
mungkin itu hanya pemicu dari segunung emosi yang terpendam selama berhari-hari
di rumah sakit. Penat, bosan, jenuh, mual, pusing, panas, dan berbagai perasaan
yang menderanya selama berhari-hari, belum lagi ditambah dengan bisingnya rumah
sakit, perawat yang kadang tak ramah, keluarga yang mulai uring-uringan karena
kepala keluarganya sekian hari tak bekerja, semuanya membuat dadanya
bergemuruh. Lalu datanglah salah satu saudaranya dengan setangkai ketulusan
berjinjing jeruk. Namun karena jeruk yang dibawanya itu tak bagus, marahlah ia.
Wajar. Sekali lagi wajar. Tetapi
tidak dengan peristiwa lain yang hampir mirip terjadi di acara keluarga besar
belum lama ini. Seorang keluarga yang tengah diberi ujian Allah menjalani
kehidupannya dalam ekonomi menengah ke bawah, berupaya untuk tetap
berpartisipasi dalam acara keluarga besar tersebut. Tiba-tiba, “Kalau nggak
mampu beli jeruk yang bagus, mending nggak usah beli. Jeruk asam gini siapa
yang mau makan?” suara itu terdengar di tengah-tengah keluarga dan membuat malu
keluarga yang baru datang itu.
Pupuslah senyum keluarga itu,
rusaklah acara kangen-kangenan keluarga oleh kalimat tersebut. Si empunya suara
mungkin hanya melihat dari jeruk masam itu, tapi ia tak mampu melihat apa yang
sudah dilakukan satu keluarga itu untuk bisa membawa sekantong jeruk yang boleh
jadi harganya tak seberapa.
Harga sekantong jeruk mungkin tak
lebih dari sepuluh ribu rupiah. Tapi tahukah seberapa besar pengorbanan yang
dilakukan satu keluarga itu untuk membelinya? Rumahnya sangat jauh dari rumah
tempat acara keluarga, dan sedikitnya tiga kali tukar angkutan umum. Sepuluh
ribu itu seharusnya bisa untuk makan satu hari satu keluarga. Boleh jadi mereka
akan menggadaikan satu hari mereka tanpa lauk pauk di rumah. Atau jangan-jangan
pagi hari sebelum berangkat, tak satu pun dari anggota keluarga itu sempat
menyantap sarapan karena uangnya dipakai untuk membeli jeruk. Yang lebih parah,
mungkin juga mereka rela berjalan kaki dari jarak yang sangat jauh dan memilih
tak menumpang satu dari tiga angkutan umum yang seharusnya. “Ongkos bisnya kita
belikan jeruk saja ya, buat bawaan. Nggak enak kalau nggak bawa apa-apa,” kata
si Ayah kepada keluarganya.
Kalimat sang Ayah itu, hanya bisa
dijawab dengan tegukan ludah kering si kecil yang sudah tak sanggup menahan
lelah dan panas berjalan beberapa ratus meter. Tak tega, Ayah yang bijak itu
pun menggendong gadis kecil yang hampir pingsan itu. Ia tetap memaksakan hati
untuk tega demi bisa membeli harga dari di depan keluarga besarnya walau hanya
dengan sekantong jeruk. Menahan tangisnya saat mendengar lenguhan nafas seluruh
anggota keluarganya sambil berkali-kali membungkuk, jongkok, atau bahkan
singgah sesaat untuk mengumpulkan tenaga. Itu dilakukannya demi mendapatkan
sambutan hangat keluarga besar karena menjinjing sesuatu.
Setibanya di tempat acara, sebuah
rumah besar milik salah satu keluarga jauh yang sukses, menebar senyum di depan
seluruh keluarga yang sudah hadir sambil bangga bisa membawa sejinjing jeruk,
lupa sudah lelah satu setengah jam berjalan kaki, tak ingat lagi terik yang
memanggang tenggorokan, bertukar dengan sejumput rindu berjumpa keluarga.
Namun, terasa sakit telinga, layaknya dibakar dua matahari siang. Lebih panas
dari sengatan yang belum lama memanggang kulit, ketika kalimat itu terdengar,
“Jeruk asam begini kok dibawa…”
Duh. Jika semua tahu pengorbanan
yang dilakukan satu keluarga itu untuk bisa menjinjing sekantong jeruk tadi,
pastilah semua jeruk asam itu akan terasa manis. Jauh lebih manis dari buah apa
pun yang dibawa keluarga lain yang tak punya masalah keuangan. Yang bisa datang
dengan kendaraan pribadi atau naik taksi dengan ongkos yang cukup untuk membeli
sepeti jeruk manis dan segar.
Mampukah kita melihat sedalam itu?
Sungguh, manisnya akan terasa lebih lama, meski jeruknya sudah dimakan
berhari-hari yang lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar