by : armhando.com
Setidaknya ada sepuluh alasan kenapa kita menganut agama
Islam beserta ayat-ayat yang mendukung (Anda harus Tahu) . Kesepuluh alasan
tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama,
karena kita ingin hidup di dalam naungan ridha Allah سبحانه و تعالى . Sedangkan
Allah سبحانه و تعالى telah menegaskan di dalam Kitab-Nya bahwa satu-satunya
agama atu jalan hidup yang diridhai-Nya hanyalah agama Islam. Tidak ada
seorangpun Muslim yang pernah membaca ayat di bawah ini kecuali pasti akan
menjadikan Islam sebagai satu-satunya pilihan agama yang ia anut. Karena Allah
سبحانه و تعالى hanya meridhai atau melegalisir agama Islam, bukan agama selain
Islam.
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ
الإسْلامُ
"Sesungguhnya
agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam."
(QS. Ali Imran [3] : 19)
Seorang Muslim sangat peduli memperoleh ridha Allah سبحانه و
تعالى dalam hidupnya. Ia tidak risau jika pak RT atau pak RW atau presiden atau
bahkan penguasa negara superpower sekalipun tidak ridha kepadanya. Tapi ia
sangat risau jika Allah سبحانه و تعالى Penguasa langit dan bumi tidak meridhai
hidupnya.
Ayat di atas bukan saja menegaskan bahwa penganut agama Islam
bakal memperoleh ridha dan restu Allah سبحانه و تعالى , tetapi secara implisit
juga menegaskan bahwa barangsiapa mencari agama selain Islam berarti ia hidup
di dunia tanpa keridhaan Allah سبحانه و تعالى . Jika Allah سبحانه و تعالى tidak
ridha kepadanya berarti ia bakal menderita kerugian di akhirat nanti. Sebab
murka Allah سبحانه و تعالى menanti dirinya. Bagaimana tidak? Allah سبحانه و
تعالى telah memberikan begitu banyak nikmat —lahir maupun batin— kepadanya,
namun ia malah tidak bersyukur terhadap nikmat yang paling utama, yaitu hidayah
agama Islam. Bukti tidak bersyukurnya ialah dia memilih agama selain Islam yang
sesungguhnya menjauhkan dirinya dari Ridha Allah سبحانه و تعالى .
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
"Barang
siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang
rugi." (QS. Ali Imran [3] : 85)
Keridhaan Allah سبحانه و تعالى akan tercurah kepada kita karena
kita memilih untuk beridentitas Islam, bukan yang lainnya. Sebab Allah سبحانه و
تعالى menyuruh kita saat berinteraksi dengan penganut agama lainnya agar
menawarkan prinsip hidup tauhid kepada mereka sebagai kesepakatan bersama.
Tetapi kemudian jika mereka berpaling, kita tidak disuruh untuk berkompromi
dengan mereka, misalnya dengan mencari identitas “pertengahan” seperti
nasionalisme dan sejenisnya. Allah سبحانه و تعالى menyuruh kita untuk memproklamirkan
diri sebagai orang-orang yang beridentitas Islam.
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ
تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلا نَعْبُدَ
إِلا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ
شَيْئًا وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا
بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا
اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
"Katakanlah, 'Hai Ahli Kitab, marilah
(berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara
kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah'. Jika mereka berpaling maka
katakanlah kepada mereka, 'Saksikanlah, bahwa kami adalah kaum muslimin
(orang-orang yang berserah diri kepada Allah)'." (QS.
Ali Imran [3] : 64)
Kedua, kita
menganut agama Islam karena ingin hidup seirama dengan gerak alam semesta.
Seluruh makhluk di langit maupun di bumi bersikap “Islam” atau berserah-diri,
bersujud, tunduk dan patuh kepada Allah سبحانه و تعالى . Maka kita tidak ingin
memilih irama yang berbeda dengan gerak alam. Kita kaum Muslimin sangat merasa
perlu untuk hidup dalam harmoni keserasian dengan alam seluruhnya.
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ
لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الأرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ
وَالنُّجُومُ
وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُوَالدَّوَابُّ
وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ
"Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa
kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan,
bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian
besar daripada manusia?"
(QS. Al-Hajj [22] : 18)
Kita menganut Islam karena kita ingin dengan sukarela berserah
diri kepada Allah سبحانه و تعالى . Kita sangat sadar bahwa kita semua berasal
dari Allah سبحانه و تعالى dan akan dikembalikan kepada Allah سبحانه و تعالى
sebagai akhir perjalanan hidup.
أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ
وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا
وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
"Maka
apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah
berserah diri (aslama) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka
maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan.” (QS.
Ali Imran [3] : 83)
Ketiga, kita
menganut agama Islam karena ingin dikumpulkan bersama orang-orang terbaik
sepanjang zaman. Dari zaman ke zaman, dari negeri ke negeri Allah سبحانه و
تعالى mengutus para Nabi dan Rasul-Nya untuk menyampaikan pesan Allah سبحانه و
تعالى bahwa hidup di dunia ini adalah untuk menjalankan misi beribadah kepada
Allah سبحانه و تعالى semata dan menjauhkan diri dari musuh-musuh-Nya yaitu para
thaghut. Berfihak kepada al-haq(kebenaran) dan tidak berkompromi
dengan al-bathil(kebatilan).
Para Nabi dan Rasul Allah merupakan manusia-manusia terbaik
sepanjang zaman. Kita ingin dikumpulkan bersama mereka kelak di Akhirat nanti.
Oleh karena itu kita menganut Islam. Sebab Islam merupakan agama yang telah
dianut bahkan diperjuangkan oleh setiap Nabi dan Rasul Allah sepanjang sejarah.
قُلْ آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا
أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ
وَيَعْقُوبَ
وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَىوَعِيسَى
وَالنَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ
مُسْلِمُونَ
"Katakanlah, 'Kami beriman kepada
Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada
Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada
Musa, 'Isa dan para nabi dari Rabb mereka'. Kami tidak membeda-bedakan seorang
pun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menjadi kaum muslimun
(menyerahkan diri)."
(QS. Ali Imran [3] : 84)
Bahkan
kita sangat berambisi agar bisa dikumpulkan bersama orang-orang terbaik sesudah
level para Nabi dan Rasul Allah, yaitu para shiddiqiin (orang-orang yang
selalu dalam kebenaran), syuhada (orang-orang yang mati syahid terbunuh
oleh musuh-musuh Allah سبحانه و تعالى ) sertasholihiin (orang-orang yang
menyibukkan diri mengerjakan amal ibadah dan amal sholeh). Sebab mereka inilah
orang-orang yang paling pantas kita jadikan sebagai sebaik-baiknya teman setia
di dunia maupun di Akhirat kelak.
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ
فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ
وَالصِّدِّيقِينَ
وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ
أُولَئِكَ رَفِيقًا
"Dan barang siapa yang mentaati Allah
dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang
yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang
sebaik-baiknya." (QS. An-Nisa [4] : 69)
Keempat, kita menganut agama Islam karena ingin mati sebagai muslim yaitu
sebagai orang yang berserah diri kepada Allah سبحانه و تعالى . Kita tidak
mau mati sebagai seorang yang kafir kepada Allah سبحانه و تعالى . Demikian
pula, kita tidak ingin mati sebagai orang yang berpura-pura atau bermain-main
menjadi seorang yang beriman alias menjadi seperti kaum munafik. Begitu pula,
kita tidak mau mati dalam keadaan sebagai seorang yang murtad. Mengapa? Karena
Allah سبحانه و تعالى menyuruh kita untuk tidak mati kecuali dalam keadaan
sebagai seorang muslim.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS Ali Imran
102)
Orang yang mati dalam keadaan beragama Islam akan mendapat
keselamatan dan kebahagiaan hakiki dan abadi di akhirat kelak dengan dimasukkan
Allah سبحانه و تعالى ke dalam jannah-Nya (surga-Nya).
Sedangkan orang yang mati dalam keadaan selain beragama Islam pasti celaka di
akhirat, karena Allah سبحانه و تعالى bakal memasukkan dirinya ke dalam api
neraka yang menyala-nyala. Semua orang yang mati dalam keadaan kafir, munafik
atau murtad berarti mati tidak dalam keadaan beragama Islam. Ia bakal hidup
dalam kesengsaraan hakiki dan abadi di dalam azab Allah tersebut. Wa
na’udzubillaahi min dzaalika...
Maka seorang yang mati dalam keadaan beragama Islam berarti telah
mempersiapkan dirinya untuk mampu menjawab beberapa pertanyaan fundamental
malaikat ketika dirinya sudah menjadi mayat berada di dalam kuburnya. Sebagaimana
disebutkan Rasulullah صلى الله عليه و سلم di dalam hadits berikut:
قَالَ فَتُعَادُ رُوحُهُ فِي جَسَدِهِ
فَيَأْتِيهِ مَلَكَانِ فَيُجْلِسَانِهِ فَيَقُولَانِ لَهُ مَنْ رَبُّكَ فَيَقُولُ
رَبِّيَ اللَّهُ فَيَقُولَانِ لَهُ مَا دِينُكَ فَيَقُولُ دِينِيَ الْإِسْلَامُ
فَيَقُولَانِ لَهُ مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي بُعِثَ فِيكُمْ فَيَقُولُ هُوَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَقُولَانِ لَهُ وَمَا
عِلْمُكَ فَيَقُولُ قَرَأْتُ كِتَابَ اللَّهِ فَآمَنْتُ بِهِ وَصَدَّقْتُ
فَيُنَادِي مُنَادٍ فِي السَّمَاءِ أَنْ صَدَقَ عَبْدِي
Kata
Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم : “... lantas rohnya di kembalikan ke jasadnya, kemudian dua
malaikat mendatanginya dan mendudukkannya dan bertanya “Siapa Rabbmu?”. Ia
menjawab “Rabb-ku
Allah”. Tanya keduanya "Apa agamamu?" Ia
menjawab: “Agamaku Islam."
Keduanya bertanya "Bagaimana komentarmu tentang laki-laki yang diutus
kepada kamu ini?” Si mayit menjawab
"Oh, dia Rasulullah صلى الله عليه و سلم .” Keduanya
bertanya "Darimana kamu tahu itu
semua?” Ia menjawab "Aku membaca Kitabullah sehingga aku mengimaninya dan membenarkannya.” Lantas ada Penyeru di langit memanggil-manggil:"HambaKu benar...” (HR Ahmad – Shahih)
Kelima, kita menganut agama Islam karena ingin meneladani Nabi
Muhammad صلى الله عليه و سلم yang disebut Allah سبحانه و تعالى merupakan
rahmat bagi semesta alam.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً
لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus
kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS
Al-Anbiya)
Seorang manusia yang menjalani kehidupan mengikuti agama Islam,
berarti ia telah mengambil peranan sebagai rahmat bagi sekelilingnya. Sebab
hakikat menjadi rahmat bagi sekelilingnya ialah ketika seseorang loyal dan
istiqomah di dalam menganut agama Islam. Jangan dibalik. Bila orang kebanyakan
(yang aqidahnya rusak serta terlanjur tenggelam dalam dosa) merasa terganggu
oleh kehadiran orang yang sesungguhnya sholeh, maka orang sholeh itu dituduh
tidak menjadi rahmat bagi orang-orang sekelilingnya (yang terlanjur gemar
kemusyrikan dan bermaksiat alias durhaka kepada Allah سبحانه و تعالى ).
Akhirnya supaya dianggap menjadi “rahmat” bagi orang-orang tersebut si sholeh
tadi berkompromi dan menunjukkan sikap mencampuradukkan yang haq dengan yang
batil. Ini pengertian yang keliru dari makna “rahmat bagi semesta alam.”
Maka, kita menganut agama Islam dan berusaha untuk istiqomah
dengannya, karena tahu bahwa satu-satunya tolok-ukur kalau dirinya menjadi
rahmat bagi sekelilingnya adalah ketika ia sibuk berusaha meneladani Nabi
Muhammad صلى الله عليه و سلم dalam sebanyak mungkin aspek kehidupannya.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ
اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ
كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak mengingat Allah.” (QS Al-Ahzab 21)
Keenam, kita menganut agama Islam karena ingin kehidupan yang baik di
dunia dan kehidupan yang jauh lebih baik lagi di akhirat kelak nanti. Sebab
seorang muslim yakin bahwa hidupnya belum berakhir ketika ia meninggal dunia.
Ia sangat yakin bahwa kehidupan dunia ini fana dan masih ada kehidupan akhirat
yang menantinya. Di dunia ini ia hanya menjalani kehidupan sementara dan sangat
singkat. Sedangkan di akhirat nanti ia bakal menjalani kehidupan yang abadi dan
hakiki. Kesenangan serta penderitaan di dunia merupakan kesenangan dan
penderitaan yang artifisial. Sedangkan kesenangan dan derita di akhirat
merupakan kesenangan dan derita yang sejati.
Maka seorang muslim tentunya ingin hidup baik dan senang di dunia,
tetapi ia lebih fokus mengejar hidup yang baik dan senang di akhirat. Seorang
muslim tentunya tidak ingin hidup yang buruk dan menderita di dunia, tapi ia
lebih tidak ingin lagi hidup buruk dan menderita di akhirat nanti.
Sedangkan Allah سبحانه و تعالى menjanjikan bahwa jika ia
menjadi penganut Islam yang baik dan benar, niscaya ia bakal memperoleh hidup
yang baik di dunia dan hidup yang jauh lebih baik lagi di akhirat kelak nanti.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ
أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ
حَيَاةً طَيِّبَةً
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS An-Nahl
97)
Yang sering mengecohkan manusia ialah kesalahfahaman mengenai
makna “hidup yang baik di dunia.” Kebanyakan manusia modern mengartikannya
sebagai hidup dengan berkecukupan dan kaya serta sukses meraih gelar akademis
bahkan punya jabatan dan menjadi orang yang populer. Padahal tolok-ukur
kesuksesan hidup di dunia, bagi seorang muslim, bukanlah itu. Kesuksesan diukur
berdasarkan “taqwa”. Sedangkan taqwa ialah seberapa jauh seseorang menjalankan
perintah-perintah Allah سبحانه و تعالى dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Seringkali karena seseorang patuh menjalankan perintah Allah سبحانه
و تعالى (misalnya perintah berda’wah, amar ma’ruf dan nahi mungkar serta
berjihad di jalan Allah) malah justeru dituduh sebagai pengacau, ekstrimis atau
bahkan teroris, lalu dipenjara oleh penguasa zalim. Atau tatkala ia menjauhi
larangan Allah سبحانه و تعالى (misalnya larangan mencuri/korupsi, berzina,
memakan riba/bunga bank serta mentaati/berkompromi/berkoalisi dengan thaghut)
malah ia dicap sebagai seorang yang kaku, radikal, kolot serta tidak progresif
oleh kaum liberalis yang ingin hidup memperturutkan hawa-nafsu mereka. Apakah
orang-orang seperti ini hidupnya tidak baik? Oh tidak, justeru inilah
orang-orang yang sesungguhnya memperoleh “hidup yang baik di dunia” jika mereka
tetap sabar dan istiqomah mematuhi Allah سبحانه و تعالى apapun resiko yang
mesti mereka alami. Subhaanallah....!
Ketujuh, kita menganut agama Islam karena tidak mau menjadi orang yang
berdusta sesudah mengaku beriman. Kita sadar bahwa sekedar berikrar syahadatain
tidak serta-merta memastikan diri menjadi seorang yang benar imannya. Bahkan
berpeluang masuk ke dalam golongan kaum munafik. Wa na’udzubillaahi min
dzaalika...!
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا
أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan
sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS Al-Ankabut 2-3)
Hidup seorang yang mengaku beriman pasti dipenuhi dengan ujian
demi ujian dari Allah سبحانه و تعالى untuk menyingkap apakah dirinya
seorang mukmin yang benar ucapannya ataukah seorang munafik yang terbiasa
berdusta. Allah سبحانه و تعالى secara tegas menggolongkan kaum munafik
yang suka berdusta sebagai orang-orang yang pada hakikatnya tidak beriman walau
lisannya mengaku dirinya beriman.
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا
بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ
“Di antara manusia ada yang
mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal
mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.” (QS Al-Baqarah 8)
Kedelapan, kita menganut agama Islam
karena menyadari bahwa iman tidak bisa diwarisi dari orangtua atau nenek moyang
kita. Iman dan Islam bukanlah perkara yang secara otomatis diwariskan dari
orang-tua kepada anak-keturunannya. Menjadi orang beriman harus melalui sebuah
perjuangan memelihara iman dan tauhid serta kesungguhan doa kepada Allah سبحانه
و تعالى agar senantiasa menunjuki kita jalan hidayah dan keselamatan di dunia
dan di akhirat. Seorang ustadz yang alim dan sholeh tidak serta-merta mempunyai
anak-keturunan yang juga alim dan sholeh. Jangankan seorang ustadz, bahkan
seorang Nabiyullah-pun tidak selalu anaknya pasti menjadi orang beriman. Hal
ini kita dapati di dalam kisah Nabiyullah Nuh ‘alaihis-salam.
وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ
إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ
الْحَاكِمِينَ قَالَ يَا نُوحُ
إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلا تَسْأَلْنِي
مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ
أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“Dan Nuh berseru kepada Rabbnya sambil berkata: "Ya Rabbku,
sesungguhnya anakku, termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah
yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya." Allah berfirman:
"Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan
akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik.
Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui
(hakikat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan
termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan." (QS Huud 45-46)
Allah سبحانه و تعالى menegur Nabi Nuh agar jangan menganggap
puteranya yang condong memilih kafir daripada iman sebagai bagian dari
keluarganya. Bahkan Allah melarang Nabi Nuh mengajukan permohonan doa yang
mencerminkan seolah dirinya selaku Nabi tidak berpengetahuan dalam persoalan
mendasar ini. Yaitu persoalan aqidah sebagai pengikat sejati antar manusia,
bahkan antara anak dan ayah. Pengikat sejati antar manusia adalah iman dan
tauhid, bukan darah dan garis keturunan.
Demikian pula dengan Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم .
Beliau dengan tegas memperingatkan kepada anak-keturunannya agar jangan
mengandalkan garis keturunan sebagai hal yang otomatis mendatangkan
keistimewaan dibandingkan orang lainnya yang tidak bergaris keturunan hingga ke
Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم . Tidak mentang-mentang seseorang
merupakan bagian dari ahli bait Rasulullah صلى الله عليه و سلم
kemudian ia menjadi yakin dan pasti bahwa dirinya bakal masuk surga dan
memperoleh syafaat dari Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم . Tidak...!
إن أهل بيتي هؤلاء يرون أنهم أولى الناس بي وليس كذلك إن أوليائي منكم المتقون من كانوا و حيث كانوا - إسناده صحيح رجاله كلهم
ثقات
“Ahli Baitku berpandangan
bahwa mereka adalah orang-orang yang paling berhak mendapat syafaatku, padahal
tidaklah demikian. Sesungguhnya para waliku di antara kamu sekalian adalah yang
bertaqwa, siapapun dia dan dimanapun adanya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim
dalam “As-Sunnah” dan dipandang shahih oleh Al Al-Bani dalam takhrij beliau)
Kesembilan, kita menganut agama Islam
karena faham bahwa zaman yang sedang berlangsung dewasa ini merupakan era penuh
fitnah dimana ancaman utama ialah munculnya gejala “murtad tanpa sadar”.
Sehingga Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم menggambarkannya seperti
sepenggal malam yang gelap-gulita.
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا
كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ
يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا
وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا
وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ
بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا
Nabi صلى الله عليه و
سلم bersabda: "Segeralah kalian beramal sebelum datangnya fitnah-fitnah
seperti malam yang gelap gulita. Di pagi hari seorang laki-laki masih dalam
keadaan mukmin, lalu menjadi kafir di sore harinya. Di sore hari seorang
laki-laki masih dalam keadaan mukmin, lalu menjadi kafir di pagi harinya. Dia
menjual agamanya dengan barang kenikmatan dunia."
(HR Muslim -Shahih)
Hadits di atas menggambarkan dengan tepat sekali kondisi dunia
dewasa ini. Bila jujur dalam menilai, semua kita pasti merasakan betapa fitnah
telah merebak ke segenap lini kehidupan. Entah itu fitnah ideologi, politik,
sosial, ekonomi, budaya, hukum, pendidikan, media, militer dan lain-lainnya.
Sehingga Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم tidak mengatakan bahwa gejala
yang muncul ialah “di pagi hari seorang lelaki berbuat kebaikan, lalu berbuat
kejahatan di sore harinya.” Tidak, Nabi tidak berkata demikian..! Sebab
sejahat-jahatnya seseorang, namun bila iman dan tauhid masih bersemayam di
dalam dadanya, ia masih berpeluang diampuni Allah سبحانه و تعالى .
Jelas-tegas Nabi muhammad صلى الله عليه و سلم mengatakan “pagi beriman,
sorenya kafir..!” Gejala “murtad tanpa sadar” inilah yang harus kita
waspadai..!
Dalam hadits lainnya, kita temukan prediksi Nabi muhammad صلى
الله عليه و سلم yang dengan tepat menggambarkan keadaan kaum muslimin dewasa
ini.
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ
حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ
ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ
قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ
آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
Rasulullah
صلى الله عليه و سلم bersabda:
"Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum
kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya
mereka masuk ke dalam lubang biawak sekalipun kalian pasti akan mengikuti mereka." Kami
bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani?" Beliau menjawab: "Siapa
lagi kalau bukan mereka?" (HR Muslim - Shahih)
Tidakkah seperti itu kondisi sebagian besar kaum muslimin dewasa
ini? Mereka mengekor secara membabi-buta kepada “the western civilization”
(peradaban barat) yang tidak lain ialah “the judeo-christian civilization”
(peradaban yahudi-nasrani) yang sedang mendominasi dunia saat ini. Dalam
berideologi meyakini faham sekularisme, humanisme, pluralisme dan liberalisme.
Dalam berhukum menolak hukum Allah سبحانه و تعالى dan membanggakan hukum
produk manusia. Dalam berbudaya menjadikan syahwat sebagai tujuan bukan dzikrullah
(mengingat Allah). Menjadikan riba sebagai praktek utama berekonomi yang diterima
tanpa peduli larangan dan ancaman Allah سبحانه و تعال. Ikatan sosial
dirajut berlandaskan faham nasionalisme bukan aqidah tauhid
sebagaimana yang Allah perintahkan. Dalam berpolitik menjadikan faham
Machiavelli (tujuan menghalalkan segala cara) serta demokrasi sebagai acuan
utama, bukannya memperjuangkan tegaknya kedaulatan Allah سبحانه و تعالى dengan
menerapkan syariah Islam sebagai aturan bersama. Media menjadi sarana
penyebar-luasan kebohongan, kerusakan, humbar aurat, kelalaian bahkan
kemusyrikan, bukan menjadi penerang yang menyadarkan manusia akan hakikat dan
tujuan hidupnya. Sekolah formal sebagai sarana utama pendidikan malah menjadi
penyebab utama disintegrasi keluarga serta tempat dimana anak belajar menjadi
nakal dan mempersekutukan Allah, bukan menjadi santun dan ber-tauhid.
Pantas bilamana Allah سبحانه و تعالى memperingatkan kita akan
bahaya kaum yahudi dan nasrani yang selalu menginginkan kaum muslimin mengekor
kepada millah (baca: jalan hidup) mereka. Bahkan Allah سبحانه
و تعالى memperingatkan kita bahwa jika loyalitas diserahkan kepada kaum yahudi
dan nasrani, maka Allah tidak lagi memandang kita masih beragama Islam, alias
murtad..!
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ
وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ
الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ
الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ
“Orang-orang Yahudi dan
Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka.
Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang
benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah
pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan
penolong bagimu.” (QS Al-Baqarah 120)
Allah jelas-tegas menyatakan bahwa "Sesungguhnya
petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Islam itulah petunjuk
Allah. Islam itulah petunjuk yang benar. Mengapa sebagian kita mengikuti
petunjuk kaum yahudi dan nasrani? Pantas dewasa ini sebagian besar kaum
muslimin tidak merasakan pertolongan dan perlindungan Allah, sebab mereka sibuk
mencari pertolongan dan perlindungan dari kaum yahudi dan nasrani..!
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ
بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ
فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian
mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara
kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zalim.” (QS Al-Maidah 51)
Kesepuluh, kita menganut agama Islam
karena sadar bahwa saat ini kaum muslimin sedang hidup di babak keempat
perjalanan sejarah ummat Islam. Dan babak ini merupakan “the darkest ages of
the Islamic era” (babak paling kelam dalam sejarah Islam). Di babak ini
kaum muslimin hidup di bawah dominasi kepemimpinan mulkan jabbriyyan (para
penguasa yang memaksakan kehendak dan mengabaikan kehendak Allah dan
Rasul-Nya). Belum pernah di dalam sejarah ummat Islam kita mengalami babak yang
lebih kelam daripada babak ini. Simak hadits Nabiصلى الله عليه و سلم berikut
ini:
تَكُونُ النُّبُوَّةُ
فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ
يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِفَتَكُونُ
مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا
ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ
يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا
جَبْرِيَّا فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا
شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ
النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
“Masa (1)kenabian
akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah
mengangkatnya, setelah itu datang masa (2)Kekhalifahan mengikuti pola
(Manhaj) Kenabian, selama beberapa masa hingga Allah mengangkatnya,
kemudian datang masa (3)Raja-raja yang Menggigit selama beberapa masa,
selanjutnya datang masa (4)Raja-raja/para penguasa yang
Memaksakan kehendak (diktator) dalam beberapa masa hingga waktu yang
ditentukan Allah, setelah itu akan terulang kembali (5)Kekhalifahan
mengikuti pola (Manhaj) Kenabian. Kemudian Rasul SAW terdiam.” (HR Ahmad -
Shahih)
Pada babak ketiga kaum muslimin sempat mengalami kepemimpinan yang
juga bermasalah karena yang memimpin adalah para khalifah yang dijuluki
Nabi صلى الله عليه و سلم sebagai mulkan aadhdhon (para raja
yang menggigit). Mengapa? Sebab pada masa itu pergantian khalifah bak sistem
kerajaan yaitu diwariskan dalam lingkup keluarga raja secara turun-temurun.
Sehingga mereka dijuluki para raja. Lalu mengapa disebutmenggigit?
Karena tidak sedikit di antara mereka yang memang berlaku zalim secara
pribadinya, namun betapapun para kahliafah tersebut masih memenuhi kriteria
sebagai ulil amri dalam hal kepemimpinannya dimana bila ada
perselisihan, mereka masih menjadikan Allah (Al-Qur’an) serta Ar-Rasul
(As-Sunnah) sebagai rujukan utama. Tidak demikian halnya di babak keempat
dewasa ini. Para pemimpin dan pembesar yang ada mengambil rujukan selain
Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam menyelesaikan persoalan masyarakat di
dalam negara yang dipimpinnya. Inilah hal yang paling membedakan antara
babak ketiga dengan babak keempat perjalanan sejarah ummat Islam. Di babak
ketiga ummat masih merasakan kepemimpinan “ulil amri” sedangkan di babak
keempat ummat tidak memiliki “ulil amri” sebab yang ada hanyalah para “pemimpin
dan pembesar” yang mengajak masyarakat bukan menuju keridhoan Allah سبحانه
و تعالى , malah menuju kemurkaan-Nya. Wa na’udzubillaahi min
dzaalika..!
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(QS An-Nisa 59)
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي
النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ
وَأَطَعْنَا الرَّسُولا وَقَالُوا
رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلا
رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ
الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا
Pada hari ketika muka
mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya,
andai kata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul". Dan
mereka berkata: "Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah mentaati
pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari
jalan (yang benar). Ya Rabb kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali
lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar".
(QS Al-Ahzab 66-68)
Ya
Allah, ajarkanlah kami bagaimana caranya beristiqomah menjadikan Kitab-Mu dan
Sunnah Nabi-Mu Muhammad صلى الله عليه و سلم sebagai pemimpin kami di era
fitnah ketiadaan ulil amri dewasa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar