PENCIPTAAN MANUSIA
Pendahuluan“Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan
sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al Baqarah (2) : 2-3)
Ayat di atas jelas
menerangkan pada kita bahwa Alquran tidak ada yang bisa diragukan lagi. Segala
yang ada di dalam Alquran adalah sudah pasti benar. Kebenaran Alquran ini telah banyak terbukti oleh
ilmu pengetahuan manapun.
Bahkan banyak persoalan pada suatu ilmu pengetahuan yang baru terpecahkan dari
Alquran. Tidak hanya ilmuwan muslim yang mengeksplor Alquran dan menjadikannya
rujukan ilmu pengetahuan dan sains, tapi juga ilmuwan-ilmuwan barat yang
mengembangkan teori, hukum, dan fenomena-fenomena alam yang tidak bisa
dipecahkan. Alquran adalah mukjizat terbesar sepanjang masa, karena manfaatnya
akan dirasakan oleh semua manusia sampai akhir jaman.
Alquran diturunkan kepada seorang Rasul yang buta
huruf dan pada negeri yang
cukup tertinggal dari ilmu pengetahuan. Tidak masuk akal jika menyebutkan bahwa
Alquran adalah buatan Muhammad. Hal ini dikarenakan kandungan Alquran yang luar
biasa banyak yang menjelaskan ilmu pengetahuan dan sains yang baru terungkap
oleh alat-alat canggih jaman sekarang.
Salah satu yang Alquran
jelaskan adalah mengenai teori penciptaan manusia. Bagaimana ketika manusia
pertama diciptakan dan bagaimana mekanisme terbaik pembentukan jasad manusia di
rahim ibunya, pembentukan ovum, sperma, dan lain sebagainya telah dijelaskan
secara rinci dan detail. Pembentukan manusia ini baru terbukti oleh sains pada
akhir-akhir abad ini oleh teknologi mutakhir.
Maka tidak ada yang bisa
diragukan dari Alquran, termasuk mengenai teori penciptaan manusia pertama
yaitu Adam adalah tidak melalui proses evolusi seperti yang dilontarkan oleh
Darwin. Alquran bukan yang harus dibuktikan oleh sains dan teknologi, tapi
sains dan teknologi lah yang harus dibuktikan oleh Alquran, karena Alquran
sudah pasti benar.
“Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang
tidak kamu ketahui.” (Albaqarah: 30)
Malaikat adalah makhluk
Allah yang paling patuh terhadap segala perintahNya. Sebelum manusia pertama
atau Adam diciptakan, malaikat sudah diciptakan terlebih dahulu. Suatu ketika
saat Allah memberikan pengumuman berupa rencana akan menciptakan suatu makhluk
yang akan menjadi khalifah di muka bumi. Namun, makhluk yang dipilih Allah itu
adalah manusia. Mengetahui hal ini malaikat sedikit “protes” pada Allah. Kita
harus ingat bahwa malaikat itu makhluk yang paling taat dan patuh pada segala
perintah dan keputusanNya. Akan tetapi satu hal ini yang membuat malaikat
“angkat bicara” kepada Allah berkenaan dengan akan adanya penciptaan manusia
ini.
Seperti yang dijelaskan
oleh ayat di atas, malaikat tahu bahwa manusia yang akan diciptakan Allah
tersebut akan membuat kerusakan di muka bumi. Padahal Allah menciptakan manusia
dengan tujuan menjadi khalifah di muka bumi.
Allah pun menjawab
“protes” para malaikat dengan kalimat “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang
tidak kamu ketahui” disini kita bisa melihat bahwa Allah lah sang perencana
segalanya, Allah lah sang maha pencipta yang paling mengetahui ciptaannya. Ada
sesuatu dibalik skenario yang dibuat Allah. Pasti ada sejuta hikmah dari
jawaban Allah tersebut.
Ayat ini juga
mengingatkan pada manusia bahwa tujuan awal kita diciptakan oleh Allah adalah
untuk menjadi khalifah di muka bumi.
a) Proses Kejadian
Manusia Pertama (Adam)
Di dalam Al Qur’an
dijelaskan bahwa Adam diciptakan oleh Allah dari tanah yang kering kemudian
dibentuk oleh Allah dengan bentuk yang sebaik-baiknya. Setelah sempurna maka
oleh Allah ditiupkan ruh kepadanya maka dia menjadi hidup. Hal ini ditegaskan
oleh Allah di dalam firman-Nya :
“Yang membuat sesuatu
yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari
tanah”. (QS. As Sajdah (32) : 7)
“Dan sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari
lumpur hitam yang diberi bentuk”. (QS. Al Hijr (15) : 26)
Disamping itu Allah juga
menjelaskan secara rinci tentang penciptaan manusia pertama itu dalah surat Al
Hijr ayat 28 dan 29 .
“Dan (ingatlah) ketika
Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : Sesungguhnya Aku akan menciptakan
seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang
diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah
meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan
bersujud” (QS. Al Hijr (15) : 28-29)
Di dalam sebuah Hadits
Rasulullah saw bersabda :
“Sesunguhnya manusia itu
berasal dari Adam dan Adam itu (diciptakan) dari tanah”. (HR. Bukhari)
“Dan Dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada
para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu mamang benar orang-orang yang benar!” (Albaqarah:31)
“Mereka menjawab: “Maha
Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan
kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana .”
(Albaqarah:32)
“Allah berfirman: “Hai
Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” Maka setelah
diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah
sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan
bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan ?”
(Albaqarah:33)
“Dialah Yang menciptakan
kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi
suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya), kemudian
kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).” (Alanam:2)
b) Proses Kejadian
Manusia Kedua (Siti Hawa)
Pada dasarnya segala
sesuatu yang diciptakan oleh Allah di dunia ini selalu dalam keadaan
berpasang-pasangan. Demikian halnya dengan manusia, Allah berkehendak
menciptakan lawan jenisnya untuk dijadikan kawan hidup (isteri). Hal ini
dijelaskan oleh Allah dalam salah satu firman-Nya :
“Maha Suci Tuhan yang
telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan
oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui” (QS.
Yaasiin (36) : 36)
Adapun proses kejadian
manusia kedua ini oleh Allah dijelaskan di dalam surat An Nisaa’ ayat 1 yaitu :
“Hai sekalian manusia,
bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan
dari padanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang sangat banyak…” (QS. An
Nisaa’ (4) : 1)
Di dalam salah satu
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dijelaskan :
“Maka sesungguhnya
perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk Adam” (HR. Bukhari-Muslim)
Apabila kita amati
proses kejadian manusia kedua ini, maka secara tak langsung hubungan manusia
laki-laki dan perempuan melalui perkawinan adalah usaha untuk menyatukan
kembali tulang rusuk yang telah dipisahkan dari tempat semula dalam bentuk yang
lain. Dengan perkawinan itu maka akan lahirlah keturunan yang akan meneruskan
generasinya.
c) Proses Kejadian
Manusia Ketiga (semua keturunan Adam dan Hawa)
Kejadian manusia ketiga
adalah kejadian semua keturunan Adam dan Hawa kecuali Nabi Isa a.s. Dalam
proses ini disamping dapat ditinjau menurut Al Qur’an dan Al Hadits dapat pula
ditinjau secara medis.
Di dalam Al Qur’an
proses kejadian manusia secara biologis dejelaskan secara terperinci melalui
firman-Nya :
“Dan sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia itu dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang
kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal
darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan
tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kamudian
Kami jadikan ia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah ,
Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al Mu’minuun (23) : 12-14).
Kemudian dalam salah
satu hadits Rasulullah SAW bersabda :
“Telah bersabda
Rasulullah SAW dan dialah yang benar dan dibenarkan. Sesungguhnya seorang
diantara kamu dikumpulkannya pembentukannya (kejadiannya) dalam rahim ibunya
(embrio) selama empat puluh hari. Kemudian selama itu pula (empat puluh hari)
dijadikan segumpal darah. Kemudian selama itu pula (empat puluh hari) dijadikan
sepotong daging. Kemudian diutuslah beberapa malaikat untuk meniupkan ruh
kepadanya (untuk menuliskan/menetapkan) empat kalimat (macam) : rezekinya, ajal
(umurnya), amalnya, dan buruk baik (nasibnya).” (HR. Bukhari-Muslim)
Selanjutnya yang
dimaksud di dalam Al Qur’an dengan “saripati berasal dari tanah” sebagai
substansi dasar kehidupan manusia adalah protein, sari-sari makanan yang kita
makan yang semua berasal dan hidup dari tanah. Yang kemudian melalui proses
metabolisme yang ada di dalam tubuh diantaranya menghasilkan hormon (sperma),
kemudian hasil dari pernikahan (hubungan seksual), maka terjadilah pembauran
antara sperma (lelaki) dan ovum (sel telur wanita) di dalam rahim. Kemudian berproses
hingga mewujudkan bentuk manusia yang sempurna (seperti dijelaskan dalam ayat
diatas).
“ Sesungguhnya kami
telah menciptakan manusia dari air mani yang bercampur” (QS. Addahr: 2)
“Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah.” (QS 96. Al-’Alaq: 2)
Selanjutnya, fase
segumpal darah (`alaqah) berlanjut terus dari hari ke-15 sampi hari ke-24 atau
ke-25 setelah sempurnanya proses pembuahan. Meskipun begitu kecil, namun para
ahli embriologi mengamati proses membanyaknya sel-sel yang begitu cepat dan aktivitasnya
dalam membentuk organ-organ tubuh. Mulailah tampak pertumbuhan syaraf dalam
pada ujung tubuh bagian belakang embrio, terbentuk (sedikit-demi sedikit )
kepingan-kepingan benih, menjelasnya lipatan kepala; sebagai persiapan
perpindahan fase ini (`alaqah kepada fase berikutnya yaitu mudhgah (mulbry
stage)).Mulbry stage adalah kata dari bahasa Latin yang artinya embrio (janin)
yang berwarna murberi (merah tua keungu-unguan). Karena bentuknya pada fase ini
menyerupai biji murberi, karena terdapat berbagai penampakan-penampakan dan
lubang-lubang (rongga-rongga) di atasnya.
Realitanya, ungkapan
Al-Quran lebih mendalam, karena embrio menyerupai sepotong daging yang dikunyah
dengan gigi, sehingga tampaklah tonjolan-tonjolan dan celah (rongga-rongga)
dari bekas kunyahan tersebut. Inilah deskripsi yang dekat dengan kebenaran.
Lubang-lubang itulah yang nantinya akan menjadi organ-organ tubuh dan
anggota-anggotanya.
Di dalam Al-Quran
disebutkan bahwa embrio terbagi dua; pertama, sempurna (mukhallaqah) dan kedua
tidak sempurna (ghair mukhallaqah). Penafsiran dari ayat tersebut adalah:
Secara ilmiah, embrio dalam fase perkembangannya seperti tidak sempurna dalam
susunan organ tubuhnya. Sebagian organ (seperti kepala) tampak lebih besar dari
tubuhnya dibandingkan dengan organ tubuh yang lain. Lebih penting dari itu,
sebagian anggota tubuh embrio tercipta lebih dulu dari yang lainnya, bahkan
bagian lain belum terbentuk. Contoh, kepala. Ia terbentuk sebelum sebelum
bagian tubuh ujung belum terbentuk, seperti kedua lengan dan kaki. Setelah itu,
secara perlahan mulai tampaklah lengan dan kaki tersebut. Tidak diragukan lagi,
ini adalah I’jâz `ilmiy (mukjizat sains) yang terdapat di dalam Al-Quran.
Karena menurut Dr. Ahmad Syauqiy al-Fanjary, kata `alaqah tidak digunakan kecuali
di dalam Al-Quran.
“Yang membuat segala
sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia
dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina.
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia
menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit
sekali bersyukur. (Assajdah:7-9)”
“Dan orang-oranng yang
beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami
hubungkan anak cucu mereka dengan mereka , dan Kami tiada mengurangi sedikitpun
dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang
dikerjakannya. (Athuur:21)”
Interpretasi
Para ahli dari barat
baru menemukan masalah pertumbuhan embrio secara bertahap pada tahun 1940 dan
baru dibuktikan pada tahun 1955, tetapi dalam Al Qur’an dan Hadits yang
diturunkan 15 abad lalu hal ini sudah tercantum. Ini sangat mengagumkan bagi
salah seorang embriolog terkemuka dari Amerika yaitu Prof. Dr. Keith Moore,
beliau mengatakan : “Saya takjub pada keakuratan ilmiah pernyataan Al
Qur’an yang diturunkan pada abad ke-7 M itu”. Selain iti beliau juga
mengatakan, “Dari ungkapan Al Qur’an dan hadits banyak mengilhami para scientist
(ilmuwan) sekarang untuk mengetahui perkembangan hidup manusia yang diawali
dengan sel tunggal (zygote) yang terbentuk ketika ovum (sel kelamin betina)
dibuahi oleh sperma (sel kelamin jantan). Kesemuanya itu belum diketahui oleh
Spalanzani sampai dengan eksperimennya pada abad ke-18, demikian pula ide
tentang perkembangan yang dihasilkan dari perencanaan genetik dari kromosom
zygote belum ditemukan sampai akhir abad ke-19. Tetapi jauh ebelumnya Al Qur’an
telah menegaskan dari nutfah Dia (Allah) menciptakannya dan kemudian (hadits
menjelaskan bahwa Allah) menentukan sifat-sifat dan nasibnya.”
Sebagai bukti yang
konkrit di dalam penelitian ilmu genetika (janin) bahwa selama embrio berada di
dalam kandungan ada tiga selubung yang menutupinya yaitu dinding abdomen
(perut) ibu, dinding uterus (rahim), dan lapisan tipis amichirionic (kegelapan
di dalam perut, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang
menutup/membungkus anak dalam rahim). Hal ini ternyata sangat cocok dengan apa
yang dijelaskan oleh Allah di dalam Al Qur’an :
“…Dia menjadikan kamu
dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan (kegelapan dalam
perut, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutup anak
dalam rahim)…” (QS. Az Zumar (39) : 6).
Inilah teori penciptaan
dalam Islam. Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia mengendalikan alam
semesta menurut kehendak-Nya sesuai fungsi dan peran yang spesifik.
Awal penciptaan
dituturkan di dalam al-Qur’an seara logis dan tegas, dengan menyatakan banyak
fakta dalam penciptaan. Namun, seseorang yang membandingkan penjelasan tentang
awal penciptaan seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an dan seperti yang
disebutkan dalam Kitab Kejadian itu akan dengan mudah menyimpulkan bahwa kedua
buku memiliki sumber yang sama namun al-Qur’an menjelaskannya secara logis dan
ilmiah.
Dari al-Mu’minun: 12-16,
dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Adam diciptakan dari tanah liat secara langsung, atau secara tidak langsung dari bahan dasar lumpur. Sebelum berubah menjadi manusia, Adam menerima hembusan ruh dari Allah nafas yang memberinya kemampuan kemampuan untuk belajar dan potensi untuk mengenali.
- Hawa diciptakan dari sel atau tulang Adam. Penciptaan tersebut memberi penjelasan yang masuk akal mengenai kesamaan antara peta genetik dan jumlah chromosom pada kedua Adam dan Hawa.
Dalam teori penciptaan
dalam Islam, Allah menentukan peran bagi Hawa, seorang perempuan diciptakan
dari laki-laki, yang ditugaskan di Al-Qur’an dengan ayat-ayat berikut:
“Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
(ar-Rum: 21)
Allah juga berfirman,
‘Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan
bagimu dari istri-istri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki
dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan
mengingkari nikmat Allah?’ [an-Nahl: 72]
Menurut ayat-ayat ini,
teori penciptaan menurut Islam itu mencakup hal-hal berikut:
- Allah menganugerahi Adam isteri dengan sifat-sifat tertentu untuk tujuan kasih sayang dan rahmat.
- Allah memberi Hawa fitur reproduksi untuk memberikan anak laki-laki dan perempuan.
- Sesuai kehendak Allah, Adam dan Hawa merupakan bagian dari bangunan masyarakat yang lengkap, yang terdiri dari orang tua, anak, cucu, dan seterusnya.
- Allah menentukan desain fitur-fitur manusia dalam air sperma yang dipancarkan manusia dengan DNA yang spesifik, peta genetika atau jumlah chromosom bersama antara pasangan perkawinan, laki-laki dan perempuan.
- Allah menjaga sumber kelangsungan kehidupan makhluk-Nya. Karena itu, Allah mengatur kerajaan tumbuhan sebagai makhluk otonom yang menyediakan makanan yang diperlukan untuk kerajaan manusia.
- Dia mengatur siklus untuk menghasilkan air tawar untuk minuman manusia dan pengairan tanaman yang mereka makan.
- Allah mengelola pasokan energi untuk makhluk-Nya demgam proses fotosintesis yang ajaib, yang menyimpan energi dari matahari menjadi buah yang dapat dimakan.
Sebagaimana teori
evolusi nihil logika kehidupan evolusi, Biogenesis juga gagal dalam mengasumsi
awal mula kehidupan dalam zat kimia dengan regenerasi imajiner spontan. Dalam
al-Qur’an, Allah menyatakan bahwa Dia adalah Pencipta kehidupan dan kematian.
Teori Penciptaan dalam
Islam mengenai peran Pencipta sebagai Pencipta unsur kehidupan. Unsur seperti
itu tidak diketahui sampai sekarang oleh manusia. Teori Darwin tidak mampu
menjelaskan mengenai ruh. Tanpa ruh, sebuah jasad yang ada tidak akan
berfungsi, tidak akan hidup. Ruh masih menjadi misteri dalam sains dan
teknologi. Hanya Allah yang tahu, bahkan di Alquran pun dikatakan bahwa Allah
lah yang memegang kunci rahasia alam ruh. Jiwa ditiupkan ke dalam Adam dan juga
ditiupkan ke dalam setiap manusia. Hal ini menjadi rahasia Allah semata, tidak
seorang pun bisa mendefinisikannya.
“Dan mereka bertanya
kepadamu tentang roh. Katakanlah, ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (al-Isra’: 85)
Allah dalam teori
Penciptaan dalam Islam tidak hanya membuat badan kita hidup, tetapi ia juga
membentuk rupa kita agar terlihat seperti rupa manusia. Allah memiliki nama
lain dalam Al-Qur’an selain al-Khaliq (Pencipta), yaitu al-Mushawwir (Yang
membentuk rupa).
“Dia-lah Allah Yang
Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama
Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan
Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (al-Hasyr: 24)
Dari penjelasan singkat
di atas dapat ditarik sebuah konklusi bahwa Al-Quran bukan hanya sebagai kitab
suci yang membacanya merupakan ibadah, namun ia juga merupakan sebuah kitab
yang banyak mengandung tanda-tanda ilmiah. Hal ini semakin membuktikan bahwa
Al-Quran itu benar-benar wahyu dari Allah, bukan buatan Muhammad SAW.
Mengetahui
Bagaimana Proses Penciptaan Manusia
Takdir
telah ditetapkan 50.000 tahun sebelumnya diciptakan Langit dan Bumi,
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari Abdullah bin ‘Amr
radhiallahu ‘anhuma :
“Sesungguhnya Allah menetapkan
takdir-takdir makhluknya 50.000 (Lima puluh ribu) Tahun sebelum menciptakan
langit-langit dan bumi.”
(HR. Muslim 2653, shahih)
Bagaimana Kita Diciptakan?
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
(At Tin : 5)
Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas bisa menjadi bahan renungan buat kita!
Sungguh kenyataannya terpampang di hadapan mata. Alangkah sempurna
penciptaannya dan alangkah indahnya! Lalu pernahkan kita memikirkan dari mana
kita diciptakan dan bagaimana tahap-tahap penciptaannya? Pernahkah terpikir di benak kita
bahwa tadinya kita berasal dari tanah dan dari setetes mani yang hina?
Pembahasan
berikut ini mengajak Anda untuk melihat asal kejadian manusia agar hilang
kesombongan di hati dengan kesempurnaan jasmani yang dimiliki dan agar kita
bertasbih memuji Allah ‘Azza wa Jalla dengan kemahasempurnaan kekuasaan-Nya.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada para Malaikat-Nya sebelum menciptakan Adam
‘Alaihis Salam :
“Sesungguhnya Aku akan menciptakan
manusia dari tanah.” (Shad : 71)
Begitu
pula dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan orang-orang
musyrikin yang ingkar dan sombong tentang dari apa mereka diciptakan. Dia Yang
Maha Tinggi berfirman :
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan
mereka dari tanah liat.” (Ash Shaffat
: 11)
Dua
ayat di atas dan ayat-ayat Al Qur’an lainnya yang serupa dengannya menunjukkan
bahwasanya asal kejadian manusia dari tanah. Barangsiapa yang mengingkari hal
ini, sungguh ia telah kufur terhadap pengkabaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala
sendiri.
Berkaitan
dengan hal di atas, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan
tahapan-tahapan penciptaan itu dan begitu pula Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam telah memberikan kabar kepada kita akan hal tersebut dalam
hadits-haditsnya.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami
jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami
jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang,
lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia
makhluk yang berbentuk (lain). Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling
Baik.” (Al Mukminun : 12-14)
“Wahai manusia, jika kamu dalam
keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka ketahuilah sesungguhnya Kami
telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari
segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan
yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam
rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang telah ditentukan, kemudian
Kami keluarkan kamu sebagai bayi … .”
(Al Hajj : 5)
Ayat-ayat
di atas menerangkan tahap-tahap penciptaan manusia dari suatu keadaan kepada
keadaan lain, yang menunjukkan akan kesempurnaan kekuasaan-Nya sehingga Dia
Jalla wa ‘Alaa saja yang berhak untuk diibadahi.
Begitu
pula penggambaran penciptaan Adam ‘Alaihis Salam yang Dia ciptakan dari suatu
saripati yang berasal dari tanah berwarna hitam yang berbau busuk dan diberi
bentuk.
“Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur
hitam yang diberi bentuk.” (Al Hijr : 26)
Tanah
tersebut diambil dari seluruh bagiannya, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam
dari segenggam (sepenuh telapak tangan) tanah yang diambil dari seluruh
bagiannya. Maka datanglah anak Adam (memenuhi penjuru bumi dengan beragam warna
kulit dan tabiat). Di antara mereka ada yang berkulit merah, putih, hitam, dan
di antara yang demikian. Di antara mereka ada yang bertabiat lembut, dan ada
pula yang keras, ada yang berperangai buruk (kafir) dan ada yang baik (Mukmin).” (HR. Imam Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi, berkata Tirmidzi
: ‘Hasan shahih’. Dishahihkan oleh Asy Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih
Sunan Tirmidzi juz 3 hadits 2355 dan Shahih Sunan Abu Daud juz 3 hadits 3925)
Semoga
Allah merahmati orang yang berkata dalam bait syi’irnya :
Diciptakan manusia dari saripati yang berbau busuk. Dan ke
saripati itulah semua manusia akan kembali.
Setelah
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Adam ‘Alaihis Salam dari tanah. Dia
ciptakan pula Hawa ‘Alaihas Salam dari Adam, sebagaimana firman-Nya :
“Dia menciptakan kamu dari seorang
diri, kemudian Dia jadikan daripadanya istrinya … .” (Az Zumar : 6)
Dalam
ayat lain :
“Dialah yang menciptakan kamu dari
diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang
kepadanya … .” (Al A’raf : 189)
Dari Adam dan Hawa ‘Alaihimas Salam inilah terlahir
anak-anak manusia di muka bumi dan berketurunan dari air mani yang keluar dari
tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan hingga hari kiamat nanti. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 457)
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia
ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah.
Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (mani).” (As Sajdah : 7-8)
Imam
Thabari rahimahullah dan selainnya mengatakan bahwa diciptakan anak Adam dari
mani Adam dan Adam sendiri diciptakan dari tanah. (Lihat Tafsir Ath Thabari juz
9 halaman 202)
Allah
Subhanahu wa Ta’ala menempatkan nuthfah (yakni air mani yang terpancar dari
laki-laki dan perempuan dan bertemu ketika terjadi jima’) dalam rahim seorang
ibu sampai waktu tertentu. Dia Yang Maha Kuasa menjadikan rahim itu sebagai
tempat yang aman dan kokoh untuk menyimpan calon manusia. Dia nyatakan dalam
firman-Nya :
“Bukankah Kami menciptakan kalian
dari air yang hina? Kemudian Kami letakkan dia dalam tempat yang kokoh (rahim)
sampai waktu yang ditentukan.”
(Al Mursalat : 20-22)
Dari nuthfah, Allah jadikan ‘alaqah yakni segumpal darah
beku yang bergantung di dinding rahim. Dari ‘alaqah menjadi mudhghah yakni
sepotong daging kecil yang belum memiliki bentuk. Setelah itu dari sepotong
daging bakal anak manusia tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian
membentuknya memiliki kepala, dua tangan, dua kaki dengan tulang-tulang dan
urat-uratnya. Lalu Dia menciptakan daging untuk menyelubungi tulang-tulang
tersebut agar menjadi kokoh dan kuat. Ditiupkanlah ruh, lalu bergeraklah
makhluk tersebut menjadi makhluk baru yang dapat melihat, mendengar, dan
meraba. (Bisa dilihat keterangan tentang
hal ini dalam kitab-kitab tafsir, antara lain dalam Tafsir Ath Thabari, Tafsir
Ibnu Katsir, dan lain-lain)
Demikianlah
kemahakuasaan Rabb Pencipta segala sesuatu, sungguh dapat mengundang kekaguman
dan ketakjuban manusia yang mau menggunakan akal sehatnya. Semoga Allah
meridhai ‘Umar Ibnul Khaththab, ketika turun awal ayat di atas (tentang
penciptaan manusia) terucap dari lisannya pujian :
“Fatabarakallahu
ahsanul khaliqin” Maha Suci Allah, Pencipa Yang Paling Baik
Lalu
Allah turunkan firman-Nya :
“Fatabarakallahu ahsanul khaliqin” untuk melengkapi ayat di atas. (Lihat Asbabun Nuzul oleh
Imam Suyuthi, Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 241, dan Aysarut Tafasir Abu
Bakar Jabir Al Jazairi juz 3 halaman 507-508)
Maha
Kuasa Allah Tabaraka wa Ta’ala, Dia memindahkan calon manusia dari nuthfah
menjadi ‘alaqah. Dari ‘alaqah menjadi mudhghah dan seterusnya tanpa membelah
perut sang ibu bahkan calon manusia tersebut tersembunyi dalam tiga kegelapan,
sebagaimana firman-Nya :
“ … Dia menjadikan kamu dalam perut
ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan … .” (Az Zumar : 6)
Yang
dimaksud “tiga
kegelapan” dalam ayat di atas adalah kegelapan dalam selaput yang menutup
bayi dalam rahim, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam perut. Demikian yang dikatakan Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Ikrimah,
Abu Malik, Adh Dhahhak, Qatadah, As Sudy, dan Ibnu Zaid. (Lihat Tafsir Ibnu
Katsir juz 4 halaman 46 dan keterangan dalam Adlwaul Bayan juz 5 halaman 778)
Sekarang
kita lihat keterangan tentang kejadian manusia dari hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Abi ‘Abdurrahman ‘Abdullah bin Mas’ud
radhiallahu ‘anhu berkata :
Telah
menceritakan kepada kami Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan beliau
adalah yang selalu benar (jujur) dan dibenarkan. Beliau bersabda (yang artinya)
“Sesungguhnya
setiap kalian dikumpulkan kejadiannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa
nuthfah. Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga (40 hari). Kemudian
menjadi gumpalan seperti sekerat daging selama itu pula. Kemudian diutus
kepadanya seorang Malaikat maka ia meniupkan ruh kepadanya dan ditetapkan empat
perkara, ditentukan rezkinya, ajalnya, amalnya, sengsara atau bahagia. Demi
Allah yang tiada illah selain Dia, sungguh salah seorang di antara kalian ada
yang beramal dengan amalan ahli Surga sehingga tidak ada di antara dia dan
Surga melainkan hanya tinggal sehasta, maka telah mendahuluinya ketetapan
takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka sehingga ia memasukinya. Dan
sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli
neraka sehingga tidak ada antara dia dan neraka melainkan hanya tinggal
sehasta. Maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan
amalan ahli Surga sehingga ia memasukinya.” (HR. Bukhari 6/303 -Fathul Bari dan Muslim 2643, shahih)
Berita Nubuwwah di atas mengabarkan bahwa proses perubahan
janin anak manusia berlangsung selama 120 hari dalam tiga bentuk yang tiap-tiap
bentuk berlangsung selama 40 hari. Yakni 40 hari pertama sebagai nuthfah, 40
hari kedua dalam bentuk segumpal darah, dan 40 hari ketiga dalam bentuk
segumpal daging. Setelah berlalu 120 hari, Allah perintahkan seorang Malaikat
untuk meniupkan ruh dan menuliskan untuknya 4 perkara di atas.
Dalam
riwayat lain :
Malaikat masuk menuju nuthfah setelah nuthfah itu menetap
dalam rahim selama 40 atau 45 malam, maka Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku!
Apakah (nasibnya) sengsara atau bahagia?” Lalu ia menulisnya. Kemudian berkata
lagi : “Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan?” Lalu ia menulisnya dan ditulis
(pula) amalnya, atsarnya, ajalnya, dan rezkinya, kemudian digulung lembaran
catatan tidak ditambah padanya dan tidak dikurangi. (HR. Muslim dan Hudzaifah bin Usaid radhiallahu ‘anhu,
shahih)
Dalam
Ash Shahihain dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
Allah mewakilkan seorang Malaikat untuk menjaga rahim.
Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku! Nuthfah, Wahai Rabbku! Segumpal darah,
wahai Rabbku! Segumpal daging.” Maka apabila Allah menghendaki untuk menetapkan
penciptaannya, Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan?
Apakah (nasibnya) sengsara atau bahagia? Bagaimana dengan rezkinya? Bagaimana
ajalnya?” Maka ditulis yang demikian dalam perut ibunya. (HR. Bukhari `11/477 -Fathul Bari dan Muslim 2646 riwayat
dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Dari
beberapa riwayat di atas, ulama menggabungkannya sehingga dipahami bahwasanya
Malaikat yang ditugasi menjaga rahim terus memperhatikan keadaan nuthfah dan ia
berkata : “Wahai
Rabbku! Ini ‘alaqah, ini mudhghah” pada waktu-waktu tertentu saat terjadinya
perubahan dengan perintah Allah dan Dia Subhanahu wa Ta’ala Maha Tahu. Adapun
Malaikat yang ditugasi, ia baru mengetahui setelah terjadinya perubahan
tersebut karena tidaklah semua nuthfah akan menjadi anak. Perubahan nuthfah itu
terjadi pada waktu 40 hari yang pertama dan saat itulah ditulis rezki, ajal,
amal, dan sengsara atau bahagianya. Kemudian pada waktu yang lain, Malaikat
tersebut menjalankan tugas yang lain yakni membentuk calon manusia tersebut dan
membentuk pendengaran, penglihatan, kulit, daging, dan tulang, apakah calon
manusia itu laki-laki ataukah perempuan. Yang demikian itu terjadi pada waktu
40 hari yang ketiga saat janin berbentuk mudhghah dan sebelum ditiupkannya ruh
karena ruh baru ditiup setelah sempurna bentuknya.
Adapun sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
Apabila telah melewati nuthfah waktu 42 malam, Allah
mengutus padanya seorang Malaikat, maka dia membentuknya dan membentuk
pendengarannya, panglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian
Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan … .”
Al
Qadhi ‘Iyadl dan selainnya mengatakan bahwasanya sabda beliau Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam di atas tidak menunjukkan dhahirnya dan tidak benar pendapat
yang membawakan hadits ini pada makna dhahirnya. Akan tetapi yang dimaksudkan
maka dia membentuknya dan membentuk pendengarannya, penglihatannya … dan
seterusnya adalah bahwasanya Malaikat itu menulis yang demikian, kemudian
pelaksanaannya pada waktu yang lain (pada waktu 40 hari yang ketiga) dan tidak
mungkin pada waktu 40 hari yang pertama. Urutan perubahan tersebut sebagaimana
firman Allah Ta’ala dalam surat Al Mukminun ayat 12 sampai 14. (Lihat
keterangan hal ini dalam Shahih Muslim Syarah Imam An Nawawi, halaman 189-191)
Ibnu
Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari (II/484) membawakan secara
ringkas perkataan Ibnu Ash Shalah : “Adapun sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam
hadits Hudzaifah bahwasanya pembentukan terjadi pada awal waktu 40 hari yang
kedua. Sedangkan dalam dhahir hadits Ibnu Mas’ud dikatakan bahwa pembentukan
baru terjadi setelah calon anak manusia menjadi mudhghah (segumpal daging).
Maka hadits yang pertama (hadits Hudzaifah) dibawa pengertiannya kepada
pembentukan secara lafadh dan secara penulisan saja belum ada perbuatan, yakni
pada masa itu disebutkan bagaimana pembentukan calon anak manusia dan Malaikat
yang ditugasi menuliskannya.”
Dalam
ta’liq kitab Tuhfatul Wadud halaman 203-204 disebutkan bahwasanya hadits yang
menyatakan Malaikat membentuk nuthfah setelah berada di rahim selama 40 malam,
tidaklah bertentangan dengan hadits-hadits yang lain. Karena pembentukan
Malaikat atas nuthfah terjadi setelah nuthfah tersebut bergantung di dinding
rahim selama 40 hari yakni ketika telah berubah menjadi mudhghah. Wallahu
A’lam.
Perubahan janin dari nuthfah menjadi ‘alaqah dan seterusnya
itu berlangsung setahap demi setahap (tidak sekaligus). Pada waktu 40 hari yang
pertama, darah masih bercampur dengan nuthfah, terus bercampur sedikit demi
sedikit hingga sempurna menjadi ‘alaqah pada 40 hari yang kedua, dan sebelum
itu tidaklah ia dinamakan ‘alaqah. Kemudian ‘alaqah bercampur dengan daging,
sedikit demi sedikit hingga berubah menjadi mudhghah. (Lihat Fathul Bari)
Tatkala
telah sempurna waktu 4 bulan, ditiupkanlah ruh dan hal ini telah disepakati
oleh ulama. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah membangun madzhabnya yang
masyhur berdasarkan dhahir hadits Ibnu Mas’ud bahwasanya anak ditiupkan ruh
padanya setelah berlalu waktu 4 bulan. Karena itu bila janin seorang wanita
gugur setelah sempurna 4 bulan, janin tersebut dishalatkan (telah memiliki ruh
kemudian meninggal). Diriwayatkan yang demikian juga dari Sa’id Ibnul Musayyib
dan merupakan salah satu dari pendapatnya Imam Syafi’i dan Ishaq.
Dinukilkan
dari Imam Ahmad bahwasanya ia berkata : “Apabila janin telah mencapai umur 4 bulan 10 hari, maka pada
waktu yang 10 hari itu ditiupkan padanya ruh dan dishalatkan atasnya (bila
janin tersebut gugur).” (Lihat Iqadzul
Himam Al Muntaqa min Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam halaman 88-89 oleh Abi Usamah
Salim bin ‘Ied Al Hilali)
Kita
lihat dalam hadits Ibnu Mas’ud di atas bahwasanya penulisan Malaikat terjadi
setelah berlalu waktu 40 hari yang ketiga. Sedangkan pada riwayat-riwayat di
atas, penulisan Malaikat terjadi setelah waktu 40 hari yang pertama.
Riwayat-riwayat tersebut tidaklah bertentangan.
Imam
An Nawawi rahimahullah menerangkan dalam Syarah Muslim (juz 5 halaman 191)
setelah membawakan lafadh hadits dari Imam Bukhari berikut ini (yang artinya) :
‘Sesungguhnya
penciptaan setiap kalian dikumpulkan dalam rahim ibunya selama 40 hari (sebagai
nuthfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga. Kemudian menjadi
segumpal daging selama itu juga. Kemudian Allah mengutus seorang Malaikat dan
diperintah (untuk menuliskan) empat perkara, rezkinya dan ajalnya, sengsara
atau bahagianya. Kemudian ditiupkan ruh padanya … .’
Sabda …)) menunjukkan¶q…)) dengan menggunakan ((… ¶q çCÎIbeliau
((… diakhirkannya penulisan Malaikat
atas perkara-perkara tersebut setelah waktu 40 hari yang ketiga. Sedangkan
dalam hadits-hadits yang lain penulisan itu ditetapkan setelah waktu 40 hari
yang pertama. Jawaban Õv©¿à ÕvlFDdari
permasalahan ini adalah bahwasanya sabda beliau ((… …)) merupakan ma’thuf dari sabdanya ((…¶q çCÎI ªÛvt ¯Ûpnm …)) bukan dengan sabda sebelumnya yakni ((…çJpÏ Õæ ±cs §Ýt
¶q çluà ÝZÒE ÝHnt
…)). Maka sabda beliau ((… ¶q çluà ÝZÒE ÝHnt …)) merupakan kalimat sisipan
antara ma’thuf dan ¶q çluà ÌnjE ÝHnt¡ ma’thuf ‘alaih dan yang demikian
ini dibolehkan dan biasa dijumpai dalam Al Qur’an, hadits yang shahih, dan
selainnya dari ucapan orang-orang Arab.”
Ibnu
Hajar rahimahullah berkata :
“Sabda ÕvlFD…
)) merupakan ma’thuf dari (( … ¶q çluà ÌnjE ÝHnt ¿Ûmbeliau ((… … )) merupakan kesempurnaan dari çJpÏ…
)). Adapun sabdanya (( … kalimat-kalimat
yang awal. Dan tidaklah yang dimaksudkan bahwasanya penulisan Malaikat itu baru
terjadi setelah selesai tiga tahap kejadian (dari nuthfah sampai menjadi
mudhghah). Bisa jadi (yang diberitakan dalam hadits Ibnu Mas’ud) yang
dimaksudkan adalah untuk susunan berita saja, bukan susunan yang diberitakan.” (Fathul Bari 11/485)
Yang
jelas penulisan takdir untuk janin di perut ibunya bukanlah penulisan takdir
yang ditetapkan untuk semua makhluk sebelum makhluk itu dicipta. Karena takdir
yang demikian telah ditetapkan 50.000 tahun sebelumnya, sebagaimana sabda Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma :
“Sesungguhnya Allah menetapkan
takdir-takdir makhluknya lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan
langit-langit dan bumi.”
(HR. Muslim 2653, shahih)
Dalam
hadits ‘Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam, beliau bersabda :
Pertama kali yang Allah ciptakan adalah pena (Al Qalam).
Lalu Dia berfirman kepadanya : “Tulislah!” Maka pena menuliskan segala apa yang
akan terjadi hingga hari kiamat.
(HR. Abu Daud 4700, Tirmidzi 2100, dan selain keduanya. Dishahihkan oleh Syaikh
Salim Al Hilali dalam Iqadzul Himam)
Banyak
nash yang menyebutkan bahwa penetapan takdir seseorang apakah ia termasuk orang
yang bahagia atau sengsara telah ditulis terdahulu. Antara lain dalam Shahihain
dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam bersabda :
“Tidak ada satu jiwa melainkan Allah
telah menulis tempatnya di Surga atau di neraka dan telah ditulis sengsara atau
bahagia.” Maka seorang laki-laki berkata : “Wahai Rasulullah! Mengapa kita
tidak mengikuti (saja) ketentuan kita (yang telah ditulis) dan kita tinggalkan
amal?” Maka beliau bersabda : “Beramal-lah, maka setiap orang akan dimudahkan
terhadap apa yang ditetapkan baginya. Adapun orang yang bahagia akan dimudahkan
baginya untuk beramal dengan amalan orang yang bahagia. Adapun orang yang
sengsara akan dimudahkan baginya untuk beramal dengan amalan orang yang
sengsara.” Kemudian beliau membaca : “Adapun orang yang memberikan (hartanya di
jalan Allah) dan bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (Surga),
maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al Lail : 5-7) [HR. Bukhari 3/225 -Fathul Bari dan
Muslim 2647]
Bahagia
atau sengsara seseorang ditentukan oleh akhir amalnya, sebagaimana diisyaratkan
dalam hadits Ibnu Mas’ud di atas. Demikian pula dalam hadits berikut, dari Sahl
bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau
bersabda :
“Sesungguhnya hanyalah amal-amal
ditentukan pada akhirnya (penutupnya).” (HR.
Bukhari 11/330 -Fathul Bari)
Sebagai
penutup dapat kita simpulkan bahwa Allah Maha Kuasa menciptakan apa saja yang
Dia kehendaki. Dia menciptakan manusia pertama (Adam ‘Alaihis Salam) dari
tanah, sedangkan anak-anak Adam berketurunan dengan nuthfah hingga akhir kehidupan
nanti. Dia tempatkan nuthfah dalam rahim ibu dan dijaga oleh seorang Malaikat.
Nuthfah ini kemudian pada akhirnya menjadi segumpal daging dan dari segumpal
daging terus berkembang hingga menjadi sosok anak manusia kecil yang bernyawa
lengkap dengan pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki. Bersamaan dengan itu
telah ditulis ketentuan takdir untuknya, apakah rezkinya lapang ataukah sempit,
apakah amalnya baik atau sebaliknya, kapan datang ajalnya dan apakah ia
termasuk hamba Allah yang beruntung ataukah yang sengsara. Naudzubillah!
Dari
tanah manusia berasal dan pada akhirnya akan kembali menjadi tanah. Mungkin ini
bisa menjadi bahan renungan untuk kita semua. Wallahu A’lam Bis Shawab.
Daftar Bacaan :
1. Al Qur’anul Karim. 2. Adlwaul Bayan. Asy Syaikh Muhammad
Amin Asy Syinqithi. 3. Ad Durul Mantsur fi At Tafsir Al Ma’tsur. Imam As
Suyuthi. 4. Ahkamuth Thifli. Asy Syaikh Ahmad Al ‘Aysawi. 5. Asbabun Nuzul.
Imam As Suyuthi. 6. ‘Aunul Ma’bud. Al Hafidh Ibnu Qayyim Al Jauziyah. 7.
Aysarut Tafasir. Asy Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi. 8. Fathul Bari. Al
Hafidh Ibnu Hajar Al Atsqalani. 9. Iqadzul Himam Al Muntaqa min Jami’ Al ‘Ulum
wal Hikam. Syaikh Abi Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilali. 10. Jami’ Al ‘Ulum wal
Hikam. Al Hafidh Ibnu Rajab Al Hanbali. 11. Jami’ Al Bayan fi Ta’wil Al Qur’an.
Ibnu Jarir Ath Thabari. 12. Mu’jam Mufradat Alfadzil Qur’an. Al ‘Allamah Al
Ashfahani. 13. Shahih Muslim Syarah An Nawawi. Imam An Nawawi. 14. Shahih Sunan
Abi Daud. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. 15. Shahih Sunan At Tirmidzi.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. 16. Tafsir Ibnu Katsir. Al Hafidh Ibnu
Katsir. 17. Tafsir Al Qurthubi. Imam Al Qurthubi. Artinya : Jejak kehidupannya.
Ma’thuf merupakan istilah dalam ilmu nahwu yang bermakna kurang lebih lafadh
yang mengikuti lafadh tertentu yang terletak sebelumnya. Ma’thuf ‘alaih
bermakna lafadh yang diikuti oleh lafadh tertentu yang terletak sesudahnya.
Untuk
Apa Kita diciptakan?
Kehidupan
di dunia pada dasarnya hanyalah senda gurau atau main-main saja. Orang akan
semakin merugi bila tidak tahu untuk apa ia diciptakan Allah dan menjalani
kehidupan di dunia ini.
Kalau
kita melihat besarnya kekuasaan Allah, niscaya kita akan segera mengucapkan “Allahu Akbar”, “Subhanallah”. Allah menciptakan langit tanpa tiang serta semua bintang
yang menghiasinya dan Allah turunkan darinya air hujan dan tumbuh dengannya
segala jenis tumbuh-tumbuhan. Bumi terhampar sangat luas, segala jenis makhluk
bertempat tinggal di atasnya, berbagai kenikmatan dikandungnya dan setiap orang
dengan mudah bepergian ke mana yang dia inginkan.
Binatang
ada dengan berbagai jenis, bentuk, dan warnanya. Tumbuh-tumbuhan dengan segala
jenisnya dan buah-buahan dengan segala rasa dan warnanya. Laut yang sangat luas
dan segala rizki yang ada di dalamnya semuanya mengingatkan kita kepada
kebesaran Allah dan ke-Mahaagungan-Nya.
Kita
meyakini bahwa Allah menciptakan semuanya itu memiliki tujuan dan tidak
sia-sia. Maka dari itu mari kita berlaku jujur pada diri kita dan di hadapan
Allah yaitu tentu bahwa kita juga diciptakan oleh Allah tidak sia-sia, dalam
arti kita diciptakan memiliki tujuan tertentu yang mungkin berbeda dengan yang
lain. Allah berfirman:
“Maka apakah kalian mengira, bahwa
sesungguhnya Kami menciptakan kalian secara main-main dan bahwa kalian tidak
akan dikembalikan kepada Kami?”
(Al Mu’minun: 115)
“Apakah manusia mengira, bahwa ia
akan dibiarkan begitu saja ( tanpa pertanggungjawaban)?” (Al Qiyamah: 36)
“Dan Kami tidak menciptakan langit
dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah”.(Shad: 27)
”Dan Kami tidak menciptakan langit
dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.” (Ad Dukhan: 38)
Dari
ayat-ayat di atas sungguh sangat jelas bahwa segala sesuatu yang ada di muka
bumi ini dan yang ada di langit serta apa yang ada di antara keduanya tidak ada
yang sia-sia. Lalu untuk siapakah semuanya itu?
Mari kita melihat keterangan Allah di dalam Al Qur’an:
“Dialah yang telah menjadikan bumi
terhampar buat kalian dan langit sebagai atap dan Dia menurunkan air hujan dari
langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki
untuk kalian, karena itu janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah
padahal kalian mengetahuinya.”
(Al Baqarah: 22)
”Dia Allah yang telah menjadikan
segala apa yang di bumi untuk kalian.”
(Al Baqarah: 29)
“Allah-lah yang menjadikan bumi bagi
kalian tempat menetap dan langit sebagai atap, lalu membentuk kalian,
membaguskan rupa kalian serta memberi kalian rizki dari sebagian yang baik-baik
yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam.” (Al Mu’min: 64)
Ibnu
Katsir dalam tafsir beliau (1/60) mengatakan: “Allah mengeluarkan bagi mereka
(dengan air hujan tersebut) segala macam tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang
bisa kita saksikan sebagai rizki buat mereka dan binatang-binatang ternak
mereka sebagaimana yang telah disebutkan di banyak tempat di dalam Al Qur’an.”
As-Sa’di
mengatakan di dalam tafsir beliau hal. 30: ”Allah menciptakan segala apa yang ada di atas bumi buat
kalian sebagai wujud kebaikan Allah bagi kalian dan rahmat-Nya agar kalian juga
bisa mengambil manfaat darinya, bersenang-senang dan bisa menggali apa yang ada
padanya. (Kemudian beliau mengatakan) dan Allah menciptakan semuanya agar
manfaatnya kembali kepada kita.”
Sungguh
sangat jelas bahwa semua apa yang ada di langit dan di bumi dipersiapkan untuk
manusia seluruhnya. Maha Dermawan Allah terhadap hamba-Nya dan Maha Luas
rahmat-Nya.
Dari
keterangan di atas berarti manusia diciptakan oleh Allah dengan dipersiapkan
baginya segala kenikmatan, tentu memiliki tujuan yang agung dan mulia. Lalu
untuk apakah tujuan mereka diciptakan?
Tujuan Diciptakan Manusia
Manusia
dengan segala nikmat yang diberikan Allah memiliki kedudukan yang tinggi di
hadapan makhluk yang lain. Tentu hal ini menunjukkan bahwa mereka diciptakan
untuk satu tujuan yang mulia, agung, dan besar. Tujuan inilah yang telah
disebutkan oleh Allah di dalam Al Qur’an:
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan
manusia melainkan untuk menyembah-Ku.”(Adz
Dzariat:56)
Abdurrahman
As Sa’di dalam tafsir beliau mengatakan: “Inilah tujuan Allah menciptakan jin
dan manusia dan Allah mengutus seluruh para rasul untuk menyeru menuju tujuan
ini yaitu ibadah yang mencakup di dalamnya pengetahuan tentang Allah dan
mencintai-Nya, bertaubat kepada-Nya, menghadap dengan segala yang dimilikinya
kepada-Nya dan berpaling dari selain-Nya.”
Semua
nikmat yang diberikan oleh Allah kepada manusia tidak lain hanya untuk membantu
mereka dalam mewujudkan tugas dan tujuan yang mulia ini.
Asy
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dalam kitab Al Qaulul Mufid (1/27)
mengatakan: “Dengan
hikmah inilah manusia diberikan akal dan diutus kepada mereka para rasul dan
diturunkan kepada mereka kitab-kitab, dan jika tujuan diciptakannya manusia
adalah seperti tujuan diciptakannya binatang, niscaya akan hilang hikmah
diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab karena yang demikian itu
akan berakhir bagaikan pohon yang tumbuh lalu berkembang dan setelah itu mati.”
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab Majmu’ Fatawa (1/4) mengatakan: “Maka sesungguhnya Allah menciptakan
manusia untuk menyembah-Nya sebagaimana firman Allah ‘Dan tidaklah Aku
menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.’ Ibadah kepada
Allah hanya dilakukan dengan cara mentaati Allah dan Rasul-Nya dan tidak
dikatakan ibadah kecuali apa yang menurut syariat Allah adalah sesuatu yang
wajib atau sunnah.”
Makna Ibadah
Ibadah
secara bahasa artinya menghinakan diri. Sedangkan menurut syariat, Ibnu
Taimiyyah mengatakan: “Nama
dari segala yang dicintai oleh Allah dan diridhai-Nya (yang terdiri) dari
segala bentuk perbuatan dan ucapan baik yang nampak ataupun yang tidak nampak.” (Al ‘Ubudiyyah, 38)
Macam Ibadah
Dari
definisi Ibnu Taimiyah di atas kita mendapatkan faidah bahwa ibadah itu ada dua
bentuk yaitu ibadah yang nampak dan tidak nampak. Atau dengan istilah lain
ibadah dzahiriyyah dan ibadah bathiniyyah; atau dengan istilah lain lagi ibadah
badaniyyah dan ibadah qalbiyyah.
Ibadah
badaniyyah atau dzahiriyyah adalah segala praktek ibadah yang dapat dilihat
melalui gerakan anggota badan yang diridhai Allah dan yang dicintai-Nya seperti
shalat, zakat, puasa, berhaji, berdzikir, berinfak, menyembelih, bernadzar,
menolong orang yang membutuhkan dan sebagainya. Adapun ibadah bathiniyyah atau
ibadah qalbiyyah adalah ibadah yang terkait dengan hati dan tidak nampak
seperti takut, tawakkal, berharap, khusyu’, cinta, dan sebagainya.
Dari
kedua jenis ibadah ini, yang paling banyak kaum muslimin terjebak padanya
adalah yang berkaitan dengan ibadah bathiniyyah atau ibadah hati dikarenakan
sedikit dari kaum muslimin yang mengetahuinya.
‘Ubudiyyah dan Tingkatannya
Telah
berbicara para ulama tentang tingkatan ‘ubudiyah ini berdasarkan apa yang telah
disebutkan oleh Allah di dalam Al Qur’an.
Pertama,
‘ubudiyyah yang bersifat umum.
Ubudiyyah
ini bisa dilakukan oleh setiap makhluk Allah yang muslim atau yang kafir.
Inilah yang diistilahkan dengan ketundukan terhadap takdir dan sunnatullah.
Allah berfirman:
“Tidak ada seorangpun di langit dan
di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan yang Maha Pemurah selaku seorang
hamba.” (Maryam: 93).
Tentu
di dalam ayat ini masuk juga orang-orang kafir.
Kedua,
‘ubudiyyah ketaatan yang bersifat umum.
Ini
mencakup ketundukan setiap orang terhadap syariat Allah, sebagaimana firman
Allah:
“Dan hamba-hamba Allah yang Maha
Penyayang itu adalah orang-orang yang berjalan di muka bumi ini dengan rendah
hati (tawadhu’).” (Al Furqan: 63)
Ketiga,
‘ubudiyyah yang khusus.
Ubudiyyah
yang khusus ini adalah tingkatan para Nabi dan Rasul Allah. Sebagaimana firman
Allah tentang Nabi Nuh:
“Sesungguhnya dia adalah hamba-Ku
yang bersyukur.” (Al Isra’: 3).
Kemudian
Allah berfirman tentang Rasulullah:
“Dan jika kalian ragu-ragu terhadap
apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami”
(Al Baqarah: 23).
Dan
Allah berfirman tentang seluruh para rasul:
“Dan ingatlah akan hamba-hamba Kami
Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub yang memiliki perbuatan-perbuatan yang besar dan
ilmu-ilmu yang tinggi.” (Shad: 45).
Ini
merupakan ‘ubudiyyahnya para rasul yang tidak ada seorangpun akan bisa
mencapainya. (Al Qaulul Mufid, 1/36)
Syarat Diterimanya Ibadah
Tentu
sebagai orang yang dikenai beban syariat tidak menginginkan jikalau ibadah,
pengabdian, dan pengorbanan kita tidak bernilai di hadapan Allah. Telah sepakat
para ulama Ahlus Sunnah bahwa sebuah ibadah akan diterima oleh Allah dengan dua
syarat, yaitu “mengikhlaskan niat semata-mata untuk Allah” dan “mengikuti
sunnah Rasulullah.”
Kedua
syarat ini merupakan makna dari dua kalimat syahadat “Laa ilaaha illallah dan
Muhammadur Rasulullah.” Kesepakatan Ahlus Sunnah dengan kedua syarat ini
dilandasi Al Qur’an dan hadits, di antaranya adalah firman Allah:
“Dan tidaklah mereka diperintahkan
melainkan agar mereka menyembah Allah dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (Al-Bayyinah: 5).
Rasulullah
bersabda:
“Sesungguhnya amal itu sah dengan
niat dan seseorang akan mendapatkan apa yang dia niatkan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Rasulullah
bersabda:
“Barang siapa yang melakukan suatu
amalan dan bukan dari perintahku maka amalannya tertolak.” (HR. Muslim)
Wallahu
a’lam.
Allah
Menciptakan Adam dan Hikmahnya
Penulis : Syaikh Abdurrahman As Sa’ady
Penciptaan
Adam, sebagai Bapak seluruh manusia, sempat dipertanyakan oleh malaikat.
Mengapa Allah menciptakan makhluk yang suka membuat kerusakan dan pertumpahan
darah? Namun Allah memiliki hikmah tersendiri di balik penciptaan Adam
tersebut.
Setiap
saat, detik demi detik, tak ada satu pun perbuatan atau ucapan yang luput dari
kehendak Allah dan kemampuan-Nya. Ini sesuai dengan hikmah Allah yang Maha
Hikmah pada seluruh Qadha dan Qadhar-Nya. Dan Allah Maha Hikmah pada seluruh
apa yang Ia syariatkan untuk hamba-hamba-Nya.
Sehingga
ketika hikmah-Nya yang menyeluruh, ilmu-Nya yang mencakup segala sesuatu, dan
rahmat-Nya yang sempurna menuntut penciptaan Adam ‘Alahi Shallatu Wa Sallam,
ayah seluruh manusia, Allah kabarkan hal ini kepada malaikat melalui firman-Nya
:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
Khalifah di muka bumi.” (Al Baqarah:
30)
Hal
ini dimaksudkan untuk menggantikan makhluk-makhluk sebelumnya yang hanya
diketahui oleh Allah. Dan saat itu para Malaikat menjawab :
“Mengapa Engkau hendak menjadikan
(Khalifah) di bumi yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah “.(Al Baqarah: 30)
Di
satu sisi, ini merupakan bentuk penghormatan dan pengagungan para malaikat
kepada Allah ketika menciptakan makhluk yang menyerupai akhlak makhluk-makhluk
yang awal. Atau Allah khabarkan kepada Malaikat tentang penciptaan Adam
‘alaihis salam dan apa yang akan dilakukan oleh anak keturunannya yang jahat.
Allah katakan kepada mereka :
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang
tidak Engkau ketahui.” (Al
Baqarah:30)
Dalam
ayat ini, Allah sendiri yang memberitakan kesempurnaan ilmu-Nya. Yakni mencakup
segala sesuatu termasuk kebaikan dan manfaat yang tidak terhitung dari
penciptaan manusia. Dan kita wajib meyakini kekuasaan ilmu Allah dan
hikmah-Nya. Allah tidak menciptakan sesuatu yang tiada gunanya dan tiada
mengandung hikmah padanya.
Dalam
ayat selanjutnya, Allah kemudian menerangkan kepada para malaikat tersebut
secara terperinci mengapa Allah menciptakan Adam dengan tangan-Nya sendiri.
Yaitu sebagai penghormatan kepadanya di atas seluruh makhluk.
Ayat
ini menjadi salah satu bukti bahwa Allah memiliki kedua tangan yang hakiki
seperti yang secara jelas disebut dalam kisah Nabi Adam ‘alaihis salam itu.
“Terhadap apa yang Kuciptakan dengan
kedua tangan-Ku”.
Namun
tentu saja dzat Allah tidak seperti dzat-dzat makhluk. Begitu juga dengan
sifat-sifat-Nya, tidak seperti sifat-sifat makhluk.
Dalam
proses penciptaan Adam itu juga dijelaskan, Allah menggenggam seluruh bumi
dalam satu genggaman yang lunak dan yang keras, serta yang baik dan buruk. Ini
dimaksudkan agar keturunannya sesuai dengan tabiat-tabiat ini.
Maka
jadilah dia pada awalnya sebagai tanah. Lalu Allah lemparkan air sehingga
menjadi lumpur. Ketika masa tetapnya air pada lumpur itu memanjang, berubahlah
tanah liat tersebut menjadi lumpur hitam yang juga ikut berubah baunya. Lalu
Allah keringkan setelah dibentuk menjadi semacam tembikar (tanah liat kering)
yang memiliki bunyi.
Dalam
proses ini, dia adalah sebuah jasad tanpa roh. Sehingga ketika penciptaan
jasmaninya telah sempurna, Allah meniupkan roh kepada jasad itu. Berubahlah
jasad itu dari benda mati menjadi sesuatu yang hidup, yang memiliki tulang,
daging, urat, otot, dan roh.
Itulah
hakekat manusia, Allah menyiapkannya untuk segala ilmu dan kebaikan, lalu Allah
sempurnakan nikmat padanya sehingga mengajarinya nama segala sesuatu. Allah
bermaksud memperlihatkan malaikat akan kesempurnaan makhluk ini sehingga Allah
perlihatkan benda-benda dan berkata kepada mereka:
“Sebutkanlah nama benda-benda itu
jika kamu memang orang-orang yang benar”.
(Al Baqarah: 31)
Maka malaikat-malaikat tersebut tidak mampu menyebut nama
benda-benda itu. Padahal terkandung dalam ucapan para malaikat sebelumnya bahwa
tidak diciptakannya Adam ‘alaihis sallam adalah lebih baik. Ini sesuai dengan
yang nampak pada mereka saat itu. Mereka berkata :
“Maha Suci Engkau tidak ada yang kami ketahui selain dari
apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
(Al Baqarah: 32).
Allah
berfirman :
“Ya Adam, khabarkanlah kepada mereka
nama benda-benda itu”. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama
benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa
sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang
kamu lahirkan dan kamu sembunyikan?”
(Al Baqarah: 33).
Para
malaikat kemudian menyaksikan kesempurnaan makhluk ini serta ilmunya yang tidak
mereka sangka.
Faedah Yang Bisa Dipetik:
1.
Di dalamnya terdapat keutamaan ilmu. Bahwasanya para malaikat tidak mengetahui
dengan jelas keutamaan Adam dan ilmu yang dimilikinya. Dengan itu, para
malaikat mengetahui kesempurnaan Adam sehingga ia berhak untuk dihormati.
2.
Bahwasannya orang yang diberi karunia oleh Allah dengan ilmu hendaknya mengakui
nikmat Allah kepadanya. Dan menyatakan seperti para malaikat dan Rasul: Maha
Suci Engkau, kami tidak memiliki ilmu selain apa yang Engkau ajarkan. Kita juga
harus berhati-hati untuk berbicara dengan sesuatu yang tidak diketahui. Karena
sesungguhnya ilmu adalah karunia Allah yang terbesar. Dan cara mensyukuri
nikmat tersebut di antaranya dengan mengakui ilmu yang dimiliki dari Allah dan
banyak memuji-Nya atas pemberian ilmu tersebut. Mengajarkannya kepada manusia,
serta berhenti pada sebatas apa yang dia ketahui dan diam pada apa yang tidak
diketahui.
Dengan
ini, para malaikat mengakui kesempurnaan hikmah Allah dengan rinci dan
menyaksikan langsung sehingga mereka mengagungkan Nabi Adam dengan benar-benar.
Allah menginginkan para malaikat ini menampakkan penghormatan tersebut baik
secara lahir maupun batin. Maka Allah berfirman :
“Sujudlah kalian kepada Adam”.
Sebagai
bentuk penghormatan kepada Nabi Adam, sebagai bentuk ketaatan dan ibadah para
malaikat kepada Rabbnya. Dan dengan rasa cinta dan merendah (kepada-Nya),
mereka semuanya bersujud dengan segera.
Wanita
itu Diciptakan dari Tulang Rusuk
Apakah
memang wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki ataukah hanya penyerupaan
sebagaimana ditunjukkan dalam hadits yang kedua? simak fatwa ulama dibawah ini.
Tanya:
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّ الْمَرْأََةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ … -وَفِي رِوَايَةٍ- الْمَرْأََةُ كَالضِّلَعِ … (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
“Berwasiatlah kalian dengan kebaikan
kepada para wanita (para istri)1, karena wanita itu diciptakan dari tulang
rusuk…” Dalam satu riwayat: “Wanita itu seperti tulang rusuk….” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Apakah memang wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki
ataukah hanya penyerupaan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits yang kedua?
Jawab:
Al-Lajnah
Ad-Da`imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta` yang saat itu diketuai Samahatusy
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullahu menjawab, “Zahir hadits
menunjukkan bahwa wanita dan yang dimaukan di sini adalah Hawa diciptakan dari
tulang rusuk Adam. Pengertian seperti ini tidaklah menyelisihi hadits lain yang
menyebutkan penyerupaan wanita dengan tulang rusuk. Bahkan diperoleh faedah
dari hadits yang ada bahwa wanita serupa dengan tulang rusuk. Ia bengkok
seperti tulang rusuk karena memang ia berasal dari tulang rusuk. Maknanya,
wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok maka tidak bisa disangkal
kebengkokannya. Apabila seorang suami ingin meluruskannya dengan
selurus-lurusnya dan tidak ada kebengkokan padanya niscaya akan mengantarkan
pada perselisihan dan perpisahan. Ini berarti memecahkannya2. Namun bila si
suami bersabar dengan keadaan si istri yang buruk, kelemahan akalnya dan
semisalnya dari kebengkokan yang ada padanya niscaya akan langgenglah
kebersamaan dan terus berlanjut pergaulan keduanya. Hal ini diterangkan para
pensyarah hadits ini, di antaranya Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam
Fathul Bari (6/368) semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka semua.
Dengan ini diketahuilah bahwa mengingkari penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam tidaklah
benar.” (Fatwa no. 20053, kitab Fatawa
Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta`, 17/10)
1
Al-Qadhi rahimahullahu berkata: “Al-Istisha` adalah menerima wasiat, maka makna ucapan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah aku wasiatkan kalian untuk berbuat
kebaikan terhadap para istri maka terimalah wasiatku ini.” (Tuhfatul Ahwadzi)
2
Dalam riwayat Al-Imam Muslim rahimahullahu disebutkan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((إِنَّ الْمَرْأَةََ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ, لَنْ تَسْتَقِيْمَ لَكَ عَلَى طَرِيْقَةٍ, فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اِسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ, وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهَا كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلاَقُهَا))
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari
tulang rusuk,
ia tidak bisa lurus untukmu di atas satu jalan. Bila engkau ingin
bernikmat-nikmat dengannya maka engkau bisa bernikmat-nikmat dengannya namun
padanya ada kebengkokan. Jika engkau memaksa untuk meluruskannya, engkau akan
memecahkannya. Dan pecahnya adalah talaknya.”
Hukum
Aborsi, Menggugurkan Janin (Kandungan)
Apabila ruh (nyawa) telah ditiupkan ke dalam kandungan (janin) itu
kemudian mati karena aborsi, maka hal itu merupakan pembunuhan yang diharamkan
oleh Allah dan termasuk pembunuhan jiwa tanpa hak. Ini termasuk dalam rangkaian
Hukum Pertanggungjawaban Pidana, pihak yang telah melakukan pembunuhan
berkewajiban membayar diyat sesuai perincian ketentuan yang ada.
Wahai muslimah! Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan
makhluk di dalam rahimmu melalui kehamilan, sebagai amanat syar’i bagimu dan
merupakan sunnatullah. Untuk itu, janganlah kamu tutup-tutupi amanat tersebut,
sebagaimana firman-Nya:
وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللهُ فِيْ أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ. [البقرة: ٢٢٨]
“Dan tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah
dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhirat.” (Al-Baqarah: 228)
Janganlah kamu mencari alasan untuk menggugurkan
kandunganmu dan menghindar darinya dengan cara apapun, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan
keringanan padamu dengan berbuka di bulan Ramadhan, bilamana puasa itu
menyusahkan dirimu atau puasa dapat membahayakan kehamilanmu. Sungguh perbuatan
aborsi (menggugurkan kandungan) tidak asing lagi di zaman ini. Padahal
perbuatan ini adalah perbuatan yang diharamkan!
Apabila ruh (nyawa) telah ditiupkan ke dalam kandungan (janin) itu
kemudian mati karena aborsi, maka hal itu merupakan pembunuhan yang diharamkan
oleh Allah dan termasuk pembunuhan jiwa tanpa hak. Ini termasuk dalam rangkaian
Hukum Pertanggungjawaban Pidana, pihak yang telah melakukan pembunuhan
berkewajiban membayar diyat sesuai perincian ketentuan yang ada.
Menurut sebagian imam, seseorang yang membunuh (janin) berkewajiban
membayar kafarat yaitu dengan memerdekakan budak (perempuan) yang mukmin, jika
tidak mendapatkannya, maka berpuasa selama 2 bulan berturut-turut. Sebab
sebagian ulama menyamakan perbuatan ini dengan al-ma’udatu ash-shughra (bayi
perempuan yang dikubur hidup-hidup).
Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullâh berkata di dalam Majmu’
Al-Fatawa (11/151): “Adapun usaha untuk menggugurkan kandungan, maka hal itu tidak
boleh, karena belum ada hak kematiannya. Namun jika ia sudah pasti mati, maka
diperbolehkan.”
Di dalam keputusan Majelis Ulama Besar No. 140,
20-6-1407H tentang permasalahan pengguguran kandungan (aborsi) disebutkan:
1. Tidak boleh menggugurkan kandungan dalam berbagai usia, kecuali
ada sebab (alasan) syar’i yang dibenarkan dan dengan ketentuan yang sangat
ketat sekali.
2. Apabila usia kandungan berada di masa pertama yaitu 40 hari,
sedangkan pengguguran adalah maslahah syar’iyyah atau untuk mencegah bahaya,
maka diperbolehkan menggugurkannya. Namun pengguguran pada masa sekarang karena
(alasan) takut akan kesulitan dalam mendidik anak, atau takut akan kelemahan
(kekurangan) dalam memenuhi kebutuhan hidup dan mengasuhnya, atau karena
berkaitan dengan masa depan mereka, atau karena tidak ada kesanggupan bagi
suami istri untuk mencukupi kebutuhan hidup anak-anaknya, maka hal-hal tersebut
tidak diperbolehkan (dijadikan sebagai illat (alasan), pent.).
3. Tidak diperbolehkan menggugurkan kandungan, walaupun kandungan
itu baru berbentuk ‘alaqah (segumpal darah) atau mudghah (segumpal daging),
sampai diputuskan oleh tim dokter yang dipercaya bahwa kelanjutannya akan
membahayakan, seperti bila diteruskan mengakibatkan kematian bagi sang ibu,
maka boleh menggugurkan kandungan, itu pun setelah mencari berbagai cara untuk
menghindari bahaya tersebut.
4. Setelah masa ketiga dan telah sempurna 4 bulan usia kandungan,
tidak diperbolehkan penggugurannya sampai diputuskan oleh tim dokter spesialis
yang dipercaya, bahwa adanya janin di dalam perut ibunya (akan) menyebabkan
kematian (ibu)-nya dan hal itu setelah berupaya mencari berbagai cara untuk
menyelamatkan hidupnya. Maka keringanan dalam mendahulukan pengguguran dengan
syarat-syarat ini adalah mencegah yang lebih besar dari dua bahaya dan
menghimpun yang lebih besar dari dua maslahat.
Diharapkan tim dokter yang ada -dalam setiap keputusannya- agar
berlandaskan (wasiat) takwa kepada Allah dan berkeyakinan bahwa Allahlah yang
Mahabenar dan semoga shalawat dan salam Allah limpahkan atas Nabi kita
Muhammad, keluarga dan shahabatnya.
Dijelaskan di dalam Risalatu Ad-Dima’i Ath-Thabi’iyah lin-Nisa’
(Risalah Darah-darah Alami bagi Wanita) karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin:
“Apabila yang dimaksudkan pengguguran janin ini adalah
penghilangannya, maka jika dilakukan setelah ruh (nyawa) ditiupkan ke dalamnya
adalah haram tanpa keraguan, sebab termasuk pembunuhan jiwa tanpa hak.
Dan pembunuhan jiwa yang diharamkan adalah haram menurut Al-Qur’an, As-Sunnah
dan Ijma’ ulama.” Lihat hal. 60, dari
risalah tersebut.
Imam Ibnul Qayyim Al-Jauzi berkata di dalam kitab Ahkamu An-Nisaa’
(halaman 108-109) pada judul Nikah Adalah Upaya untuk Melestarikan Keturunan:
“Dan tidak setiap air (yang memancar, pent.) menjadi anak, maka
apabila bertemu (kawin) telah sampailah pada apa yang dimaksud. Sedangkan
keyakinan terhadap pengguguran adalah bertentangan dengan maksud tujuannya.
Apabila aborsi dilakukan di awal kehamilan -yakni sebelum ruh
(nyawa) ditiupkan ke dalam (janin) tersebut- adalah dosa besar. Karena ia akan
menginjak pada tahap penyempurnaan yang kemudian berlanjut kepada penyelesaian,
kecuali bahwa hal tersebut lebih kecil dosa (besar)-nya daripada yang telah
ditiupkan ruh (nyawa) ke dalamnya. Maka keyakinan pengguguran terhadap janin
yang telah ada ruh di dalamnya adalah sama seperti pembunuhan terhadap seorang mukmin.
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَإِذَا الْمَوْءُوْدَةُ سُئِلَتْ. بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ. [التكوير: ٨-٩]
“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya
karena dosa apakah dia dibunuh.” (At-Takwir: 8-9)
Maka, takutlah kamu kepada Allah, wahai wanita muslimah! Janganlah
kamu dahulukan atas dosa (pelanggaran) ini karena maksud-maksud tertentu.
Janganlah kamu membohongi dengan alasan-alasan yang menyesatkan dan ikut-ikutan
tanpa dasar yang tidak berlandas pada akal ataupun agama.”
Sumber: dikutip dari http://akhwat.web.id, Dinukil dari تنبهات على أحكام تختص بالمؤمنات (Panduan Fiqih Praktis bagi Wanita) karya Syaikh Shalih bin Fauzan
bin ‘Abdullah Al-Fauzan,
sub judul: Hukum Aborsi, hal. 45-49, penerjemah: Muhtadin Abrori, editor: Ayip
Syafrudin & Abu Ziyad ‘Abdullah Majid, penerbit: Pustaka Sumayyah
Pekalongan, cet. ketiga Jumadil Awwal 1428H)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar